Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar dari Pasang Surut Pengamalan Pancasila dari Masa ke Masa

6 Juni 2022   22:34 Diperbarui: 7 Juni 2022   17:10 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara di dalam negeri sendiri desakan untuk segera merdeka begitu kuat, sampai-sampai para pemuda harus menculik Bung Karno ke Rengasdengklok. Dalam perjalanan menuju kemerdekaan para pendiri bekerja keras merumuskan falsafah bangsa yang bisa menjadi pegangan pemersatu sebagaimana Sumpah Pemuda, tanah air yang satu, bangsa yang satu serta bahasa yang satu.

Tercapailah sebuah konsensus dengan sebuah rumusan Pancasila, berawal dari rumusan Bung Karno, Piagam Jakarta hingga rumusan terakhir di 18 Agustus sebagaimana Pancasila yang kita kenal sekarang ini.

Tantangan Pancasila sebagai pemersatu kebhinnekaan saat itu lebih kental dengan tantangan politis kekuasaan, sebagaimana kita ketahui perjuangan merebut kemerdekaan itu melibatkan banyak kepala, banyak paham, banyak kepentingan, dan banyak kutub. Disinilah Pancasila dibutuhkan untuk hadir sebagai jembatan untuk mempersatukan yang banyak itu.

Bung Karno sebagai Presiden mempunyai tantangan dan tugas untuk menjadi "koki" bagi Pancasila. Dimana saat itu kekuatan rakyat berada pada tiga kutub yakni nasionalis, ulama (agama, dan komunis.

Dalam menerjemahkan tantangan dan peluang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa Bung Karno memiliki pandangan untuk menyatukan tiga kutub ini dengan ambisi Nasakom-nya, yang sesungguhnya secara teori apapun tidaklah mungkin bisa menyatukan antara Nasionalis, Agama dan Komunis.

Sebagai pemimpin, Soekarno harus berlapang dada, harus sanggup memuat dan memangku semua kepentingan yang ada. Ia tak boleh tampil sebagai pengadil dari satu pihak yang berselisih pandangan. 

Di tengah pergulatan antara ketiga kutub ini yang sudah mulai saling menyerang, baik melalui fitnah dan serangan langsung yang semakin lama semakin memanas, teriakan amanat penderitaan rakyat bergema di mana-mana.

Dan masyarakat yang berada di bawah, terkotak-kotakkan dan saling merasa sebagai sesuatu yang asing dan mengancam, tak bisa saling mempercaya dan dipercaya. Dengan Nasakom-nya Bung Karno berharap ada dukungan, ada legitimasi. Sebab ia merasa mungkin bisa jadi semacam pohon rindang, tempat siapa saja bisa berteduh.

Tapi bukankah sudah menjadi teori bahwa bagi komunisme agama itu adalah candu dan itu harus dieliminasi dari masyarakat, begitupun bagi kaum nasionalis bahwa komunisme itu adalah candu yang takboleh dibiarkan. Jadi bagaimana mungkin suatu negeri bisa jadi tempat berlindung bagi musuh-musuh negeri itu---kecuali bila negeri itu mau bunuh diri?

Dan hasilnya, sebagaimana yang kita ketahui. Negara memang tidak bubar, Pancasila juga tidak lantas hilang, tetapi sebuah revolusi penting telah terjadi, membawa banyak kerugian dan penderitaan bagi bangsa ini.

Beruntunglah kita bisa keluar dari beratnya tantangan dan rintangan masa itu, dan Pancasila lahir kembali dengan "koki" baru dalam wajah demokrasi yang terpimpin dengan azas tunggalnya itulah Orde Baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun