Pancasila bagi rakyat Indonesia sudah merupakan harga mati, sebuah konsensus final yang lahir dari kristalisasi nilai-nilai luhur keberagaman bangsa Indonesia yang berakar dari kebudayaan bangsa sehingga Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia yang akan membawa bangsa ini mencapai tujuan dan cita-cita bangsa yang beradab dan dihormati.
Pertanyaannya apakah Pancasila sudah berperan sebagaimana yang diharapkan dan dicita-citakan oleh para pendiri bangsa?
Jawabannya sudah pasti iya, terbukti semenjak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini 77 tahun berlalu dan 100 tahun nanti bahkan selamanya kita punya keyakinan bahwa bangsa Indonesia dengan NKRI-nya akan tetap ada dan menjadi bangsa yang besar.
Namun, tentu saja disadari bahwa sampai sejauh ini pelaksanaan dari nilai-nilai Pancasila itu masih belum mencapai kata sempurna, masih banyak kekurangan-kekurangan, masih banyak bias, dan masih banyak kepentingan-kepentingan yang disusupkan demi kepentingan golongan, kelompok dan paham. Pada dasarnya sampai saat ini kita masih mencari dan meramu jati diri Pancasila yang sesungguhnya.
Pancasila harus dilaksanakan secara utuh, murni, dan konsekuen. Jika diibaratkan makanan, segala bahan-bahannya telah lengkap tersedia, bagaimana ia bisa menjadi makanan yang lezat dengan rasa yang sempurna bergantung pada koki yang menyajikannya, bagaimana takaran dari masing-masing bahan, bagaimana cara mengolah bahannya serta bagaimana cara penyajiannya tentu tidak sama antara satu koki dengan koki yang lainnya.
Masa Orde Lama
Sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia telah melalui beberapa fase krusial yang menjadi sejarah perjalanan bangsa. Fase awal kemerdekaan yang kita kenal dengan nama Orde Lama, Pancasila telah melewati tantangan dan rintangan. Sebagaimana kita ketahui, kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah diperoleh begitu saja, akan tetapi melalui perjuangan dengan banyak pengorbanan.
Proklamasi kemerdekaan sendiri diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta bukan tanpa perjuangan, justru jelang proklamasi itu para pejuang dan pemuda sudah tak sabar untuk segera mengobarkan revolusi untuk mengusir tentara Jepang dan kemudian menyatakan kemerdekaan.
 "Kita harus segera merebut kekuasaan!" tukas Sukarni berapi-api. Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami... ! seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan: ... Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari ".(Autobiografi Ahmad Soebardjo, 1978)
Kegentingan saat itu adalah meski Jepang telah menyerah kepada sekutu, namun mereka harus tunduk kepada kepentingan sekutu dan Belanda yang mendompleng sekutu berusaha untuk kembali menjajah negeri kita, dimana baik pihak Jepang maupun sekutu tidak menghendaki adanya proklamasi kemerdekaan.
Sementara di dalam negeri sendiri desakan untuk segera merdeka begitu kuat, sampai-sampai para pemuda harus menculik Bung Karno ke Rengasdengklok. Dalam perjalanan menuju kemerdekaan para pendiri bekerja keras merumuskan falsafah bangsa yang bisa menjadi pegangan pemersatu sebagaimana Sumpah Pemuda, tanah air yang satu, bangsa yang satu serta bahasa yang satu.
Tercapailah sebuah konsensus dengan sebuah rumusan Pancasila, berawal dari rumusan Bung Karno, Piagam Jakarta hingga rumusan terakhir di 18 Agustus sebagaimana Pancasila yang kita kenal sekarang ini.
Tantangan Pancasila sebagai pemersatu kebhinnekaan saat itu lebih kental dengan tantangan politis kekuasaan, sebagaimana kita ketahui perjuangan merebut kemerdekaan itu melibatkan banyak kepala, banyak paham, banyak kepentingan, dan banyak kutub. Disinilah Pancasila dibutuhkan untuk hadir sebagai jembatan untuk mempersatukan yang banyak itu.
Bung Karno sebagai Presiden mempunyai tantangan dan tugas untuk menjadi "koki" bagi Pancasila. Dimana saat itu kekuatan rakyat berada pada tiga kutub yakni nasionalis, ulama (agama, dan komunis.
Dalam menerjemahkan tantangan dan peluang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa Bung Karno memiliki pandangan untuk menyatukan tiga kutub ini dengan ambisi Nasakom-nya, yang sesungguhnya secara teori apapun tidaklah mungkin bisa menyatukan antara Nasionalis, Agama dan Komunis.
Sebagai pemimpin, Soekarno harus berlapang dada, harus sanggup memuat dan memangku semua kepentingan yang ada. Ia tak boleh tampil sebagai pengadil dari satu pihak yang berselisih pandangan.Â
Di tengah pergulatan antara ketiga kutub ini yang sudah mulai saling menyerang, baik melalui fitnah dan serangan langsung yang semakin lama semakin memanas, teriakan amanat penderitaan rakyat bergema di mana-mana.
Dan masyarakat yang berada di bawah, terkotak-kotakkan dan saling merasa sebagai sesuatu yang asing dan mengancam, tak bisa saling mempercaya dan dipercaya. Dengan Nasakom-nya Bung Karno berharap ada dukungan, ada legitimasi. Sebab ia merasa mungkin bisa jadi semacam pohon rindang, tempat siapa saja bisa berteduh.
Tapi bukankah sudah menjadi teori bahwa bagi komunisme agama itu adalah candu dan itu harus dieliminasi dari masyarakat, begitupun bagi kaum nasionalis bahwa komunisme itu adalah candu yang takboleh dibiarkan. Jadi bagaimana mungkin suatu negeri bisa jadi tempat berlindung bagi musuh-musuh negeri itu---kecuali bila negeri itu mau bunuh diri?
Dan hasilnya, sebagaimana yang kita ketahui. Negara memang tidak bubar, Pancasila juga tidak lantas hilang, tetapi sebuah revolusi penting telah terjadi, membawa banyak kerugian dan penderitaan bagi bangsa ini.
Beruntunglah kita bisa keluar dari beratnya tantangan dan rintangan masa itu, dan Pancasila lahir kembali dengan "koki" baru dalam wajah demokrasi yang terpimpin dengan azas tunggalnya itulah Orde Baru.
Pancasila di masa Orde Lama ibarat burung garuda yang hanya bisa mengepakkan sayap, akan tetapi tak mampu terbang menuju cita-citanya.
Orde Baru
Setelah revolusi pemberontakan komunis yang digagalkan, hadirlah Orde Baru dengan pemimpinnya yang kharismatik, Pak Harto. Sebagai Presiden yang memimpin negara, Soeharto tentu punya harapan dan mimpi untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang beradab, kuat, mandiri, dan tentu saja disegani dalam pergaulan internasional, dan bagi Pak Harto itu semua bisa dicapai jika kita melaksanakan Pancasila secara utuh, murni dan konsekuen.
Pancasila di masa orde baru lahir dengan wajah baru, mengeliminasi salah satu yang dianggap parasit berbahaya bagi negara yakni komunisme, segala bentuk komunisme tidak boleh dibiarkan menghirup udara kebebasan di negeri Pancasila versi orde baru.
Negara dan kekuasaan politik orde baru begitu protektif dari segala paham yang tidak bisa menerima Pancasila sebagai satu satunya azas dalam kehidupan politik, sosial dan bermasyarakat dengan begitu setiap anasir yang dianggap mengandung hal yang bertentangan dengan Pancasila harus digebuk sebelum berakar. Kecurigaan di masa itu menjadi sikap yang dipelihara dengan diberi nama "kewaspadaan".
Tak mengherankan, jika rakyat kebanyakan dijejali dengan doktrinasi Pancasila di setiap level pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan bermasyarakat. Kebebasan berbicara, kebebasan berpendapat menjadi barang mewah, pelototan mata, pasang telinga tiap saat mengarah ke pintu-pintu untuk mengidentifikasi musuh.
Masa itu dengan ketenangan yang berhasil tercipta, memang Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan masa lalu. Namun, tetap masih ada riak-riak dan bahkan ombak tersembunyi yang mengintai di balik perjalanan masa orde lama, tetapi tak bisa dipungkiri begitu banyak kemajuan positif yang bisa kita capai di masa itu yang menjadi dasar bagi bangsa ini untuk tetap eksis hingga hari ini.
Pancasila masa itu ibarat garuda yang sudah bisa terbang, namun belum mampu menukik dan menyambar, dia hanya bisa terbang tanpa mampu mengeksekusi apa yang menjadi tujuannya.
Orde Reformasi
Dengan segala kelebihan dan kekurangan orde baru kita kini dibawa ke masa reformasi, dan seperti episiode sebelumnya, Pancasila pun tak luput dari koreksi terhadap racikan "koki" terdahulu.
Di masa ini segala yang berbau orde baru adalah momok yang harus dihancurkan, segala keburukan yang ada selalu dilekatkan pada kebobrokan orde yang lalu, termasuk dengan program doktrinasi Pancasila zaman orde baru dihapuskan.Â
Apa yang menjadi musuh Pancasila di masa orde baru, kini bukan lagi hal yang tabu, bahkan kini sudah berani untuk berkoar dan ingin membalikkan fakta sejarah.
Di orde reformasi ini, kebebasan politik, kebebasan demokrasi betul-betul terbuka, jika di masa lalu kekuasaan politik itu mutlak berada di tangan pemerintah, kini bahkan rakyat pun seperti difasilitasi untuk turut serta dalam percaturan politik tingkat atas.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa di masa sekarang ini kehidupan berdemokrasi kita telah hampir mencapai titik terbaik dari pelaksanaan hak berdemokrasi bangsa kita, di mana bahkan anasir-anasir yang jelas-jelas melawan Pancasila dan Undang-Undang Dasar pun bisa bebas bersuara dan menyatakan pendapat nyelenehnya.
Namun meski demikian, kebebasan yang begitu terbuka ini juga menciptakan kutub-kutub baru yang justru semakin menajamkan perbedaan-perbedaan dan bisa saja di belakang hari akan menimbulkan persoalan besar yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk di level elit mungkin belum terlalu terbuka, namun di level grass root kebebasan telah memasuki fase yang boleh dikatakan kebablasan terutama di masa-masa jelang pemilihan umum. Di masa kini, orang-orang sudah begitu berani dan bebas mengusik sesuatu yang seharusnya menjadi hal yang tabu bagi rakyat negeri ini, yakni persoalan "agama".Â
Di mana saat ini kita bisa lihat bagaimana ada orang-orang yang begitu berani mengusik kritik apa yang menjadi wilayah ibadah agama seperti misalnya orang yang meminta pemerintah menghapus bebarapa surah dan ayat dalam Al Qur'an, ada yang mengusik pelaksanaan ibadah haji yang menurutnya sebaiknya tidak lagi perlu dilakukan karena pemborosan yang merugikan negara, sampai-sampai masalah shalat pun yang wajib lima waktu bagi kaum muslim dipertanyakan.
Penajaman friksi terutama pada kelompok agama tertentu jelas lebih terasa saat ini dan peran negara untuk menetralisir hal-hal ini terasa lemah dan bagi sebagian masyarakat dianggap tebang pilih.Â
Bagaimanapun tentang siapa yang "benar" dan siapa yang tidak, tentu saja yang berkuasalah yang menentukan. Jika demokrasi di negeri lain adalah sesuatu yang tidak boleh berat sebelah, namun di negeri ini justru demokrasi menjadi alat untuk memukul lawannya.
Mungkin banyak yang kini menyatakan saya Pancasila, saya NKRI, tetapi Pancasila bukan harus diletakkan di mulut rakyat, sebab rakyat ternyata bukan yang jadi hakim, bukan pula yang jadi jaksa.
Pancasila di masa kini sudah bisa terbang, sudah bisa menukik, tapi sayang belum bisa menerkam tujuan dan cita-citanya.
Bagi kita sekarang adalah bagaimana memahami Pancasila secara utuh dan konsekuen, dengan mengetahui sejarah dan perjalanan Pancasila dalam mengisi kehidupan sosial, politik dan bermasyarakat kita sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, bahwa Pancasila adalah suatu kesatuan utuh dari kelima sila yang takboleh dipisahkan, apalagi 'dipres' menjadi tri sila terlebih lagi menjadi eka sila.Â
Pancasila adalah konsensus final bangsa ini yang harus kita laksanakan secara utuh, murni dan konsekuen dan ini adalah kendaraan bangsa Indonesia untuk turut serta membangun peradaban dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H