Kita tentu sering mendengar banyak ungkapan peribahasa yang menggambarkan tentang mulut atau lidah  yang menggambarkan bahwa kata atau ucapan yang kita lontarkan bisa menyakiti hati atau perasaan orang lain.
Peribahasa "mulutmu harimaumu" atau "karena mulut badan binasa". Atau "Lidah lebih tajam dari pedang" Arti dari semua ungkapan peribahasa ini, secara umum semuanya menggambarkan tentang ucapan yang harus dijaga.
Sebuah ungkapan dari Baginda Ali bin Abi Thalib, "Lidah itu seperti Singa, jika kamu membiarkannya lepas dia akan melukai seseorang"
Dari peribahasa-peribahasa di atas dapat dikatakan punya makna bahwa setiap kata punya kekuatan yang sangat besar efeknya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Efeknya bisa jadi buruk dan tentu saja bisa jadi baik.
Disini tentu kita bisa memahami bahwa ucapan yang baik tentu akan menciptakan penerimaan yang baik dari orang yang mendengarkannya, demikian pula sebaliknya, ucapan yang buruk tentu akan menciptakan penerimaan yang buruk pula.
Ya, kata-kata yang baik tentu memiliki banyak manfaat. Meskipun terlihat remeh, ada banyak manfaat mendalam yang dapat diperoleh dengan kata-kata yang baik. Â Sebagaimana yang digambarkan dalam ungkapan peribahasa "Mulut manis mematahkan tulang" yang dapat diartikan perkataan yang lemah lembut dapat menyebabkan orang mengerti atau menurut.
Dalam kehidupan sehari-hari kita tentu sering bertemu dengan ucapan-ucapan yang bagai berlian dalam wujud kata-kata, dan tentu saja dengan ucapan yang terasa bagai pedang dalam wujud kata-kata, apakah itu dari mulut orang lain atau mungkin juga dari mulut kita sendiri.
Menjaga ucapan, jelas merupakan kewajiban semua orang, terlebih khusus oleh orang-orang yang memiliki kedudukan atau jabatan publik yang berhubungan dengan orang banyak.Â
Ucapan atau kata-kata yang telah terlanjur keluar dari mulut akan menjadi milik publik, kita tentu tidak bisa menutup banyak telinga untuk tidak boleh mendengar ucapan kita, dan kita juga tidak bisa melarang banyak hati untuk menilai ucapan kita, tetapi kita tentu bisa menjaga dan menutup satu mulut milik kita sendiri untuk tidak berkata yang buruk yang bisa menimbulkan multi tafsir dan kegaduhan.
Menjaga ucapan yang baik pastilah merupakan keinginan semua orang, akan tetapi tidak semua orang bisa melakukan itu dengan mudah, ini mungkin saja tergantung dari kebiasaan, pelajaran, pendidikan atau juga faktor lingkungan dan banyak hal lain yang mempengaruhinya.
Bagi orang suku Bugis dan Makassar ada semacam tradisi yang hidup dalam masyarakat, ada semacam upacara atau ritual adat tradisional dalam keluarga yang disebut "Singkolo", yaitu tradisi saat Aqiqahan anak, sekalian diberi jilatan makanan atau kadang madu dengan harapan jika kelak si anak dewasa, akan selalu dan terbiasa mengucapkan kata-kata yang manis, baik, tidak jorok, tidak pahit, atau menyinggung perasaan orang lain. Mungkin, kalau ingin dirangkum merupakan harapan agar anak pandai dalam memilih diksi ucapan yang baik dan santun.
Sehingga dalam masyarakat Bugis-Makassar, jika dalam pergaulan sehari-hari ada anak yang sering berkata buruk, memaki, atau judes terhadap perasaan temannya, orang-orang tua langsung menberinya stigma "Ana' a'bawa tani singkolo.", Artinya anak yang dimasa kecilnya tidak menjalani ritual atau upacara adat tradisional singkolo.
"Singkolo" yang artinya memasukkan sesuatu ke dalam mulut bayi, biasanya dilaksanakan bersamaan dengan saat bayi atau anak akan diaqiqah. Prosesnya dengan terlebih dahulu "Sanro Pamana" atau dukun adat mencampurkan makanan seperti kue umba-umba, empat macam makanan dan telur menjadi satu dan diletakkah diatas helai daun sirih setelah itu dimasukkan ke mulut bayi agar supaya si bayi menjilatnya, atau ada juga yang hanya menjilatkan beberapa tetes madu.
Kemudian memasukkan cincin emas dan kidong mangngali (Ekor Ikan Mangngali = sejenis ikan air tawar) ke mulut bayi. Memasukkan emas ke mulut bayi ini dimaksudkan agar supaya ketika besar mulut si bayi bagaikan emas, karena emas itu bersih dan indah, sedangkan dimasukkan kidong mangngali (Ekor ikan Mangngali) ke mulut bayi agar kelak memiliki sifat malu kepada sesama manusia.
Menurut pemahaman tradisi anak yang tidak nisingkolo (anak yang melalui tradisi singkolo) setelah besar nantinya akan senantiasa mengucapkan hal-hal yang menyakiti hati orang lain dan berbuat hal yang mempermalukan keluarga. Anak yang tidak nisingkolo biasanya sering mengatakan hal-hal yang buruk kepada kedua orang tuanya dan juga kepada orang lain.
Terlepas dari itu semua, bahwa prosesi tradisi singkolo ini bagi orang Bugis dan Makassar sesungguhnya tidak berhenti sampai disitu saja. Akan tetapi lebih daripada itu, dalam perjalanan si anak menuju besar, pendidikan tentang akhlak mulia termasuk dalam berkata-kata yang baik, sopan dan santun selalu diajarkan dan dipesankan oleh orang-orang tua kepada anak dan cucunya.
Demikianlah salah satu bentuk kearifan lokal di masyarakat Bugis-Makassar yang berisikan harapan agar anak cucu keturunan mampu menjadi orang-orang yang santun dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat, terutama dalam berucap dan berkata-kata, karena ucapan adalah Emas yang mulia jika kita mampu menjaga dan memilih kata dan ucapan yang baik, namun ucapan juga dapat menjadi pedang yang bisa melukai orang lain dan juga diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI