Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi "Singkolo" Suku Makassar, agar Anak Berlisan Terjaga

1 Maret 2022   15:46 Diperbarui: 1 Maret 2022   22:11 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: pusatilmupengetahuan.com

Sehingga dalam masyarakat Bugis-Makassar, jika dalam pergaulan sehari-hari ada anak yang sering berkata buruk, memaki, atau judes terhadap perasaan temannya, orang-orang tua langsung menberinya stigma "Ana' a'bawa tani singkolo.", Artinya anak yang dimasa kecilnya tidak menjalani ritual atau upacara adat tradisional singkolo.

"Singkolo" yang artinya memasukkan sesuatu ke dalam mulut bayi, biasanya dilaksanakan bersamaan dengan saat bayi atau anak akan diaqiqah. Prosesnya dengan terlebih dahulu "Sanro Pamana" atau dukun adat mencampurkan makanan seperti kue umba-umba, empat macam makanan dan telur menjadi satu dan diletakkah diatas helai daun sirih setelah itu dimasukkan ke mulut bayi agar supaya si bayi menjilatnya, atau ada juga yang hanya menjilatkan beberapa tetes madu.

Kemudian memasukkan cincin emas dan kidong mangngali (Ekor Ikan Mangngali = sejenis ikan air tawar) ke mulut bayi. Memasukkan emas ke mulut bayi ini dimaksudkan agar supaya ketika besar mulut si bayi bagaikan emas, karena emas itu bersih dan indah, sedangkan dimasukkan kidong mangngali (Ekor ikan Mangngali) ke mulut bayi agar kelak memiliki sifat malu kepada sesama manusia.

Menurut pemahaman tradisi anak yang tidak nisingkolo (anak yang melalui tradisi singkolo) setelah besar nantinya akan senantiasa mengucapkan hal-hal yang menyakiti hati orang lain dan berbuat hal yang mempermalukan keluarga. Anak yang tidak nisingkolo biasanya sering mengatakan hal-hal yang buruk kepada kedua orang tuanya dan juga kepada orang lain.

Terlepas dari itu semua, bahwa prosesi tradisi singkolo ini bagi orang Bugis dan Makassar sesungguhnya tidak berhenti sampai disitu saja. Akan tetapi lebih daripada itu, dalam perjalanan si anak menuju besar, pendidikan tentang akhlak mulia termasuk dalam berkata-kata yang baik, sopan dan santun selalu diajarkan dan dipesankan oleh orang-orang tua kepada anak dan cucunya.

Demikianlah salah satu bentuk kearifan lokal di masyarakat Bugis-Makassar yang berisikan harapan agar anak cucu keturunan mampu menjadi orang-orang yang santun dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat, terutama dalam berucap dan berkata-kata, karena ucapan adalah Emas yang mulia jika kita mampu menjaga dan memilih kata dan ucapan yang baik, namun ucapan juga dapat menjadi pedang yang bisa melukai orang lain dan juga diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun