Bagi petani, hal yang paling tidak diharapkan saat sedang musim tanam adalah banjir dan kekeringan, dua hal yang saling bertolak belakang tapi dari sumber yang sama yaitu air.
Secara umum di Indonesia musim penghujan terjadi antara bulan Oktober -- Maret, dan musim kemarau di bulan April -- September , namun kini seringkali terjadi anomali iklim yaitu pergeseran musim dari rata-rata normalnya.Â
Anomali iklim di Indonesia ini dipengaruhi empat faktor yang dominan yakni suhu permukaan laut di Fasifik, arah angin, beda tekanan udara permukaan di Darwin dan Tahiti, serta Indian Ocean Dipole.
Nah, bulan September ini bisa jadi merupakan puncak kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia, setelah bulan Agustus kemarin yang diprediksi sebagai puncak kemarau namun tidak terjadi.
Pola hujan di Indonesia yang terbagi dalam tiga pola yakni pola monsunal, pola ekuatorial dan pola lokal, namun yang dominan mempengaruhi adalah pola monsunal, dan pola monsunal ini juga paling terpengaruh dengan anomali iklim.
Bagi kami yang kebetulan bekerja di bidang yang menangani Irigasi, memasuki musim kemarau merupakan saat-saat yang sibuk, sebagai langkah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi
untuk menekan kerugian bagi petani, kejadian yang terkait anomali iklim ini harus kami antisipasi secara dini.
Kami di kota Kendari yang punya dua daerah irigasi (DI) yaitu DI Amohalo seluas +/-900 Ha dan DI Labibia seluas +/- 450 Ha. Persoalan yang kami hadapi juga sama. Saat hujan, banjir merendam sawah, kalau banjirnya mengenang cepat mungkin masih ada yang bisa dipanen.
Jika kemarau apalagi terjadi saat tanaman masuk fase reproduktif (primordia bunga sampai pembungaan) pemberian air perlu diprioritaskan selama fase reproduktif yang merupakan fase sensitif kekurangan air, dengan memperhatikan besarnya laju penguapan dan juga  kelembaban tanah serta sistem irigasi yang digunakan.
Antisipasi yang kami lakukan biasanya memang sedikit lebih serius dan intens saat menghadapi musim kemarau yang disebabkan oleh El Nino hal dikarenakan kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh El Nino ini lebih serius daripada apa yang disebabkan oleh La-Nina.
Penurunan curah hujan akibat El-Nino dapat mencapai 80 mm/bulan; sementara peningkatan hujan akibat La-Nina tidak lebih dari 40 mm/bulan, itu pun dengan ketersediaan infrastruktur pertanian, seperti bendung, embung dan lain-lain, kelebihan air saat musim penghujan itu dapat disimpan sebagai air cadangan atau dapat dimanfaatkan untuk perluasan areal tanam.
Untuk mengantisipasi anomali iklim, ada beberapa langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan, Hal pertama tentu saja terkait dengan informasi prakiraan iklim baik harian, bulanan maupun tahunan dan juga teknik menghadapi kondisi iklim yang terjadi, yang kedua menganalisis kemungkinan pergeseran musim, analisis neraca air wilayah serta indeks kecukupan air.
Selain antisipasi secara kebijakan umum tersebut di atas, antisipasi dalam tahap pelaksanaan di lapangan juga harus dilakukan, seperti menampung air hujan di embung-embung atau bendung yang bertujuan sebagai cadangan air saat kekeringan melanda.Â
Kemudian menyusun rencana waktu  tanam yang tepat, menyesuaikan jenis komoditas dengan ketersediaan air, jika ketersediaan air cukup bisa menanam padi, namun jika kurang tentu yang ditanam adalah komoditas yang berumur pendek dan tahan kekurangan air.Â
Demikian juga infrastruktur pertanian harus terjaga kondisinya dan keefektifannya mulai dari bendung/embung hingga ke saluran irigasi mulai dari saluran primer, sekunder, tersier hingga kuarter dan juga saluran pembuang, semua harus dalam fungsi yang optimal, dan dalam kondisi yang sedikit ekstrim penyedian alat pompanisasi di titik-titik tertentu harus disiagakan, bahkan jika masih belum cukup, mendatangkan air dari luar harus pula disiagakan.
Secara kelembagaan antasipasi anomali iklim ini juga merupakan hal yang sangat penting. Langkah-langkah operasional kelembagaan yang dapat dilakukan antara lain:
Membuat kebijakan pembagian tugas lintas instansi yang jelas dan terinci terkait dengan efektivitas organisasi, sumber pendanaan, prioritas penanganan, perbaikan, dan pemilihan teknologi penanganan.
Mengintensifkan koordinasi lintas instansi, agar setiap kebijakan lebih terarah dan efektif sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diharapkan.
Menjamin ketersediaan dan penyebarluasan informasi prakiraan iklim dalam periode tertentu yang dapat diakses dengan mudah oleh semua yang membutuhkan.
Meningkatkan dan menjaga kawasan konservasi air dengan berkoordinasi bersama pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan serta pemerintah propinsi.
Dari pengalaman antisipasi dan penanganan anomali iklim, ketepatan rencana dan kebijakan yang disusun oleh pemerintah daerah dalam hal ini instansi yang terkait, serta kecepatan melakukan langkah penanganan sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai, keterlibatan masyarakat dalam hal ini petani sangat mendukung. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H