Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai 5 Peribahasa Bugis dalam Kehidupan

13 Juni 2021   22:07 Diperbarui: 13 Juni 2021   22:20 4122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peribahasa sejatinya merupakan bentuk sastra tutur yang banyak dijumpai dalam kesusastraan lama, wujud dari cara berpikir bangsa pada zaman dahulu. Hubungan interaksi yang sangat erat dengan lingkungan sekeliling menimbulkan ilham dan cermin perbandingan terutama dari ahli-ahli pikir atau tetua-tetua kala itu.

Peribahasa pada dasarnya adalah susunan kalimat yang singkat dan merupakan sari pati atau kristalisasi pemahaman dan pengalaman hidup  bagi penuturnya. Dapat juga dikatakan sebagai filsafat sederhana jika dilihat secara lebih spesifik, namun kebanyakan peribahasa mengandung ajaran-ajaran filsafat dari penuturnya yang berisi kebijaksanaan hidup yang melekat pada lingkungan.

Peribahasa terbentuk atau tercipta berdasarkan perbandingan dan pandangan yang menyatu dan seksama terhadap alam sekeliling dan peristiwa yang berlaku di dalam masyarakat, yang kemudian tertuang dalam narasi filosofis yang menyentuh akal dan perasaan. Oleh karena itu peribahasa dapat melekat di dalam hati dan perasaan orang secara turun temurun.

Seperti dengan kebanyakan budaya dan suku lain di Nusantara, orang Bugis juga memiliki ragam peribahasa yang bermakna filosofis dan mendalam yang masih dianut dan diajarkan secara turun-temurun sebagai petuah ataupun pegangan hidup yang memiliki nilai "sakral" bagi orang-orang Bugis.

Peribahasa tersebut memiliki berbagai macam makna, seperti perilaku manusia, kebiasaan masyarakat, atau juga pengabdian kepada Tuhan.

Berikut beberapa peribahasa Bugis yang penuh dengan makna filosofis yang masih menjadi pegangan oleh sebagian besar orang Bugis di manapun berada.

1. Dek nalabu' essoe ri tengngana bitarae

 secara harafiah terjemahannya adalah: 

"tak akan tenggelam matahari di tengah langit."

Kalimat singkat peribahasa ini memiliki makna dan pesan yang mendalam sebagai petuah dan pegangan dalam mengarungi kehidupan, bahwa segala hal dalam diri manusia sudah digariskan oleh Yang Kuasa. Petuah yang berisi tentang keyakinan dan tak perlu ada keraguan akan sesuatu apalagi rasa khawatir yang berlebih, karena takakan mungkin menimpa atau terjadi sesuatu jika itu belum waktunya.

Seseorang akan mendapatkan sesuatu bila memang sudah waktunya. Manusia akan menemui ajal jika memang sudah waktunya. Kewajiban manusia hanyalah menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, selebihnya adalah urusan yang maha kuasa.

2. Pura babbara' sompekku, pura tangkisik golikku, ulebbirenni tellennge nato'walie.

Secara harafiah terjemahannya adalah:

"layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali."

Peribahasa ini bermakna tentang keteguhan atas tekad yang bulat namun disertai sifat kehati-hatian atau cermat sebelum melakukan sesuatu. Seseorang dalam melakukan sesuatu perbuatan yang baik tidak boleh terburu-buru akan tetapi harus memastikan kesiapan segala sesuatunya, sebab akan berdampak buruk pada dirinya sendiri. Perlu melakukan pemeriksaan dengan teliti dan memastikan benar-benar tidak ada kekurangan barulah bisa memulai apa yang ingin dilakukan. Dan jika telah dilakukan harus dengan penuh keteguhan tidak ada kata menyerah walau apapun resikonya.

3. Aju maluruemi riala parewa bola.

Peribahasa ini artinya:

"Hanyalah kayu yang lurus yang dijadikan ramuan rumah."

Dalam peribahasa ini, kata "kayu" memiliki makna seorang pemimpin. Maksudnya hanya orang yang memiliki kepribadian yang lurus atau jujur dan adil yang bisa dijadikan pemimpin.

Peribahasa ini mengajarkan kepada kita untuk selalu menjaga "kelurusan" sikap dan laku karena hanya orang-orang yang lurus yang mampu melaksanakan kewajiban dan melindungi apa yang dia pimpin. Disamping itu, ini juga mengajarkan kepada kita bagaimana melihat dan memilih pemimpin untuk menghindari terjadinya banyak masalah.

4. Reso temmangingi namalomo naletei pammase dewata.

Peribahasa ini artinya:

"Hanya dengan kerja keras dan ketekunan maka akan mudah mendapatkan ridho oleh Tuhan."

Peribahasa atau petuah ini menjadikan orang Bugis apalagi yang di perantauan dikenal pantang menyerah dan gigih dalam berusaha. 

Peribahasa inilah "Resopa Temmangingngi' Namalomo Naletei Pammase Dewata" yang selalu dipegang kuat oleh mayoritas masyarakat Suku Bugis sebagai pemicu semangat dalam keberhasilan. Dan dijadikan motivasi bagi mereka yang meninggalkan tanah Bugis ke tempat perantauan. Peribahasa atau ungkapan ini pernah diucapkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga presiden Joko Widodo dalam pidatonya untuk menyemangati jajaran kabinetnya dan juga masyarakat secara umum.

5. Iapa naulle taue mabbaina narekko naulleni magguli-lingiwi dapurengnge wekka pitu.

Secara harafiah terjemahannya adalah:

"Nantilah seseorang dapat beristeri, jikalau telah sanggup mengelilingi dapur tujuh kali."

Peribahasa ini menggambarkan betapa masalah rumah tangga itu penuh dengan dinamika yang harus dipahami secara benar.
Kata "dapur" dalam hal ini, bermakna sebagai pokok dalam kehidupan berumah tangga, yang harus "dikelilingi" sebanyak tujuh kali. Hal ini bermakna bahwa Seseorang yang hendak menikah harus tahu segala hal tentang urusan rumah yang berlaku setiap hari (mengelilingi 7 kali melambangkan 7 hari).

Pesan singkat dari peribahasa ini bahwa seorang suami setelah menikah hendaknya harus mampu memikul tanggung jawab dan mengetahui tugas dan kewajibannya dalam berumah tangga.

Sederet kalimat bukan saja kumpulan kata-kata, namun bisa memiliki makna yang mendalam. Jika di masa kini orang-orang rela membayar mahal demi mengikuti seminar motivasi dari motivator-motivator seperti Mario Teguh, Andrie Wongso, Merry Riana, Tung Desem Waringin atau Bong Chandra, mungkin di masa lalu orang-orang dimotivasi dan termotivasi dengan meresapi makna-makna yang terkandung dalam peribahasa yang diciptakan oleh entah siapa, namun boleh dikata oleh "tetua" atau "sesepuh".

Peribahasa yang mungkin sederhana namun lahir dari pemahaman yang mendalam tentang hubungan sebab akibat antara alam dan manusia serta Tuhan sebagai yang maha kuasa.

Dan yang terpenting daripada itu semua, mari kita jaga, kita lestarikan dan kita kembangkan adat budaya kesusastraan Nusantara sebagai kekayaan budaya luhur bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun