Memasuki dimulainya masa belajar semester genap tahun ajaran 2020/2021, yang ternyata masih dilakukan secara daring alias belajar dari rumah, banyak pertanyaan senada yang ada di dalam benak para orangtua siswa. Haruskah anak-anak kembali belajar dari rumah?.
Kondisi dilematis memang dihadapi oleh pemerintah, pandemi Corona yang belum juga dapat dikendalikan secara terukur, "memaksa" pemerintah untuk menunda kembali keinginan agar siswa didik dapat kembali belajar secara normal dengan menjalani proses belajar mengajar secara tatap muka di kelas.
Pemerintah toh tidak mungkin mau berspekulasi dengan kesehatan siswa-siswa peserta didik dan juga tenaga pengajar terhadap ancaman covid-19, pilihan terbaik saat ini sepertinya memang harus mengalah untuk tetap menjalankan proses belajar mengajar secara online atau daring dengan segala kekurangan-kekurangannya.
Kebijakan dilematis yang ditempuh oleh pemerintah ini, pastinya akan menimbulkan pro kontra, ada yang senang ada pula yang kecewa. Namun satu yang pasti harus kita lakukan adalah menerima dengan lapang dada kebijakan yang diambil oleh otoritas pendidikan kita, toh semua itu ditujukan untuk keselamatan dan kepentingan anak-anak didik dengan segala pertimbangan-pertimbangan demi terselenggaranya proses belajar yang optimal dalam situasi dan kondisi darurat pandemi ini.
Apa yang dirasakan oleh masyarakat tentu dimengerti oleh pemerintah, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung terlaksananya pembelajaran jarak jauh yang efektif dan tetap berkualitas.
Namun biar bagaimanapun kondisi umum yang terjadi di level bawah (masyarakat) tidak bisa juga diabaikan, bahwa :
Pertama tidak semua masyarakat memiliki kemampuan finansial untuk menyediakan peralatan pendukung proses belajar secara daring termasuk penyediaan kuota internet, meski ada kebijakan pulsa untuk kuota gratis dan ada juga beberapa yang mendapatkan bantuan hp gratis namun ini belum bisa menyentuh kebutuhan seluruh masyarakat secara merata.
Ada pengalaman dari seorang kawan yang kebetulan sedang berada di rental komputer, saat itu datang seorang anak usianya kisaran SD kelas enam. Anak itu membawa beberapa lembar kertas catatan yang ingin diketik dan diprintnya, setelah bertanya kepada pemilik rental berapa harga untuk mengetik dan memprint kertas yang dibawa oleh si anak, yang dijawab oleh pemilik rental 20.000 rupiah, si anak nampak terdiam dan lalu menitip kertas-kertasnya untuk pamit sebentar karena uangnya tidak cukup, selang beberapa lama si anak telah kembali, dengan muka sedih, ia meminta kembali kertas-kertasnya dan tak jadi mengetik karena uangnya tidak cukup. Kawan saya yang kebetulan ada disitu segera mendekati anak itu dan bertanya apa yang akan diketik dan diprint itu, yang dijawab oleh si anak adalah tugas sekolah yang harus dikumpulkan besok, tapi dengan sedih ia bilang orangtuanya hanya punya uang 7000 rupiah hingga ia tidak jadi mengetik dan memorint tugas sekolahnya itu.
Teman saya lalu mengambil kertas-kertas anak itu dan meminta ke pemilik rental untuk diketikan dan diprintkan dan teman saya membayar ongkosnya. Dan bersyukur lagi pemilik rental juga bilang ke si anak jika nanti ada tugas lagi, bawa saja ke rental itu dan akan dibuatkan dengan gratis.
Kisah di atas mungkin sekali banyak terjadi di sekitar kita dalam situasi dan kondisi yang mungkin berbeda namun hakikatnya sama menyangkut kesulitan finansial.
Kedua, tidak semua masyarakat mampu dan mengerti bagaimana cara mendampingi putra-putrinya dalam belajar. Yang ada justru kebingungan orangtua siswa, proses belajar mengajar itu bukan hal yang sepele, butuh keahlian dan pendidikan khusus dan secara umum bisa dikatakan hanya "dapat" dilakukan oleh seorang guru. Kisah viral video siswa bernama Rafa yang belajar menghapal Pancasila bisa menjadi contoh bagi kita bagaimana "derita" anak dan ibu yang sedang mengerjakan tugas secara daring itu. Cerita seperti itu tentu banyak pula terjadi ditempat lain dengan versi berbeda, dengan ending berbeda namun tetap satu hakikat bahwa mengajar anak itu bukan perkara mudah.
Persoalan utama proses belajar dengan anak dan orangtua sebagai aktor utama dan guru hanya sebagai pendamping virtual adalah persoalan persepsi, dimana anak memandang orangtuanya bukan sebagai guru sehingga fokus si anak bukan pada materi belajarnya tapi pada orangtuanya, hal yang berbeda pasti terjadi jika si anak berhadapan langsung dengan gurunya. Demikian pula persepsi orangtua terhadap anaknya yang harus "sempurna" atau "terbaik", sehingga orangtua merasa dengan telah mengajarkan kepada anaknya satu dua kali saja, anak telah mengerti, padahal secara umum mengajar anak-anak itu butuh kesabaran dan harus berulang-ulang bukannya dua tiga kali langsung tahu.