Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Salah Ketawa

26 Desember 2020   22:15 Diperbarui: 26 Desember 2020   22:21 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelucon kocak kembali disuguhkan dengan membeli berjuta-juta dosis obat Corona abal-abal.

Begitu banyak lelucon-lelucon terkait Corona yang ada, bayangkan betapa kocaknya aturan suami istri pun tak boleh berada dalam satu kendaraan, tapi boleh kalau naik ojek. 

Kita semua tentu dibuat ketawa oleh lelucon-lelucon itu tapi kita salah ketawa, kita ketawa menertawakan orang lain menjadikannya bahan olok-olok, padahal harusnya kita menertawai diri kita, yang semestinya menjadikan itu bahan introspeksi untuk mendapatkan solusi terbaik.

Yang kedua adalah lelucon politik. Lelucon politik yang disuguhkan di hadapan kita adalah lelucon paling kocak yang pernah ada, dan tidak akan pernah terjadi dimana pun kecuali disini di negeri ini. Lelucon apa itu?.

Lelucon abad ini hanya terjadi di Indonesia, cebong kawin sama kampret (maaf saya pakai kata cebong dan kampret yang dijadikan labelisasi persaingan panas pilpres lalu), kalau cebong dengan kampret kawin anaknya yang lahir mungkin jadi cenggeret. 

Yah mau diapakan lagi mereka toh sudah kawin, karena Indonesia butuh ketawa yuk mari kita ketawain, tapi mari kita ketawa dalam konteks menertawakan diri sendiri yang terlalu bernafsu membuat kotak-kotak politik, saking bernafsunya kita mengkotak-kotakkan diri hingga membuat cebong terpaksa kawin sama kampret agar lahir cenggeret yang bisa membuat suasana panas, tegang dan riuh menjadi tenang.

Lelucon politik di daerah juga begitu, anak lurah maju Pilkada melawan ketua RT, lelucon yang sesungguhnya sangat lucu menjadi hambar, karena kita sekali lagi sudah lupa cara ketawa dengan benar.

Kita butuh ketawa, Indonesia butuh ketawa, ini bukan lelucon atau main-main, ini serius persoalan ketawa menjadi begitu penting di negeri ini, selama ini kita ketawa memakai nafsu, menertawakan kelucuan sebagai olok-olok. 

Padahal kelucuan yang tersuguh itu adalah gambaran betapa telah terpolarisasinya kita ke dalam kutub-kutub yang saling "bermusuhan". Kita harus mampu dan mau menertawakan diri sendiri, tertawa pakai nurani tanpa tedeng aling-aling, tanpa olok-olok, tertawa sebagai orang dewasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun