Tak terasa kita telah berada di penghujung tahun, tahun yang kalau boleh dibilang adalah tahun penuh keprihatinan bagi kita semua. Pandemi Corona membuat kita kelabakan, tidak bisa kita pungkiri bahwa situasi ini membuat suasana kebatinan kita begitu tegang.Â
Betapa tidak, disaat kabinet baru pemerintahan presiden Jokowi bersiap untuk bekerja tiba-tiba pandemi datang dan merusak serta merubah begitu banyak rencana yang telah teragenda dengan rapi.
Kalau kata orang-orang bahwa tahun 2020 ini hanya 4 bulan saja yakni, Januari-February- Maret-Corona-2021.
Harapan terbesar di tahun mendatang adalah semoga ada titik terang bagi berakhirnya pandemi cilaka ini, dan sepertinya untuk mencapai itu kita perlu melepaskan ketegangan-ketegangan yang terjadi di sepanjang tahun ini, dan kita tidak usah repot mencari bagaimana caranya karena caranya begitu simpel yakni kita butuh ketawa.
Yah Indonesia Butuh Ketawa. Tapi ada tetapinya, ketawa yang kita butuhkan bukan seperti ketawa yang selama ini kita lakukan. Sepertinya kita orang Indonesia tidak tahu cara ketawa yang benar, nah Lo!!!
Negeri ini sebenarnya telah menyuguhkan begitu banyak lelucon yang membikin kita ketawa, tapi ketawa yang seharusnya membuat kita enjoy, rileks dan bahagia, namun justru ketawa yang kita lakukan malah membuat ketegangan dan memupuk perbedaan, kok bisa begitu?.
Mari kita bahas lelucon-lelucon kocak negeri ini yang telah disalah ketawakan oleh kita. Pertama kita bahas lelucon di masa awal covid
Di awal covid pemerintah sepertinya santai menyikapi wabah yang mulai menyebar, bukannya menyusun strategi antisipasi tapi malah beberapa pejabat membuat pernyataan kocak, mulai dari Corona itu tidak bisa hidup di Indonesia karena panas, terus ada juga yang bilang Corona sembuh dengan makan nasi kucing.Â
Begitu Corona mulai mewabah kocaknya bukannya hilang malah lanjut, ada pejabat yang begitu lantangnya mempersoalkan pemakaian masker yang menurut standar umum who adalah salah satu cara paling prioritas dalam pencegahan penyebaran virus.Â
Lucunya pejabat yang seharusnya mengedukasi masyarakat untuk taat menggunakan masker justru bilang nggak perlu pakai masker, yang pakai masker itu hanya orang sakit, lelucon kocak yang bikin kita jadi goblok.Â
Pejabatnya lupa kalau Corona ini menyebar bukan hanya dari orang yang sakit tapi dari orang yang kelihatan sehat (OTG).
Lelucon kocak kembali disuguhkan dengan membeli berjuta-juta dosis obat Corona abal-abal.
Begitu banyak lelucon-lelucon terkait Corona yang ada, bayangkan betapa kocaknya aturan suami istri pun tak boleh berada dalam satu kendaraan, tapi boleh kalau naik ojek.Â
Kita semua tentu dibuat ketawa oleh lelucon-lelucon itu tapi kita salah ketawa, kita ketawa menertawakan orang lain menjadikannya bahan olok-olok, padahal harusnya kita menertawai diri kita, yang semestinya menjadikan itu bahan introspeksi untuk mendapatkan solusi terbaik.
Yang kedua adalah lelucon politik. Lelucon politik yang disuguhkan di hadapan kita adalah lelucon paling kocak yang pernah ada, dan tidak akan pernah terjadi dimana pun kecuali disini di negeri ini. Lelucon apa itu?.
Lelucon abad ini hanya terjadi di Indonesia, cebong kawin sama kampret (maaf saya pakai kata cebong dan kampret yang dijadikan labelisasi persaingan panas pilpres lalu), kalau cebong dengan kampret kawin anaknya yang lahir mungkin jadi cenggeret.Â
Yah mau diapakan lagi mereka toh sudah kawin, karena Indonesia butuh ketawa yuk mari kita ketawain, tapi mari kita ketawa dalam konteks menertawakan diri sendiri yang terlalu bernafsu membuat kotak-kotak politik, saking bernafsunya kita mengkotak-kotakkan diri hingga membuat cebong terpaksa kawin sama kampret agar lahir cenggeret yang bisa membuat suasana panas, tegang dan riuh menjadi tenang.
Lelucon politik di daerah juga begitu, anak lurah maju Pilkada melawan ketua RT, lelucon yang sesungguhnya sangat lucu menjadi hambar, karena kita sekali lagi sudah lupa cara ketawa dengan benar.
Kita butuh ketawa, Indonesia butuh ketawa, ini bukan lelucon atau main-main, ini serius persoalan ketawa menjadi begitu penting di negeri ini, selama ini kita ketawa memakai nafsu, menertawakan kelucuan sebagai olok-olok.Â
Padahal kelucuan yang tersuguh itu adalah gambaran betapa telah terpolarisasinya kita ke dalam kutub-kutub yang saling "bermusuhan". Kita harus mampu dan mau menertawakan diri sendiri, tertawa pakai nurani tanpa tedeng aling-aling, tanpa olok-olok, tertawa sebagai orang dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H