Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Suka Duka Menjadi Satgas Covid Tingkat RT/RW

12 September 2020   13:06 Diperbarui: 13 September 2020   05:00 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi satgas Covid 19 (Sumber: regional.kompas.com)

Pandemi Covid-19 ini memang bikin mumet, sudah berlangsung enam bulan, namun belum juga ada tanda kapan akan berakhir. 

Berbagai kebijakan juga telah diambil oleh pihak-pihak yang terkait dan berkompeten, tetapi nampaknya pilihan buah simalakama antara ekonomi atau kesehatan membuat kita terombang-ambing dan terjebak dalam kondisi yang semakin parah baik ekonomi maupun kesehatan.

Bisa kita bayangkan betapa dilematisnya kebijakan yang harus ditempuh oleh pemerintah, tapi sebagai rakyat seharusnya kita hanya bisa menunggu kebijakan kolektif apa yang akan diambil oleh pemerintah dan kita mau tidak mau.

Siap tidak siap harus menjalankannya, semakin lama kondisi ini tidak mendapatkan kejelasan, maka akan semakin membuat masyarakat menjadi kontra produktif terhadap upaya penanganan Covid-19 ini.

Di kota saya, Kendari salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota dalam hal percepatan penanganan Covid-19 adalah membuat satuan-satuan tugas di tingkat kelurahan, yang mana di setiap kelurahan di bentuk satuan tugas di setiap RW dengan jumlah anggota 7 orang setiap RW/RT. 

Satuan tugas ini bersifat sosial tanpa honorarium, namun Alhamdulillah, oleh pemerintah kota Kendari setiap anggota satgas ini diasuransikan bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, untuk sekota kendari yang jumlahnya ada 5600-an anggota satgas. Saya pun terlibat di dalamnya sebagai seorang anggota satgas penanganan Covid-19 tingkat RT/RW.

Sebenarnya satgas ini tidak termasuk dalam struktur penanganan Covid-19, tugas dan fungsinya pun sepertinya dikondisikan sesuai kebutuhan, artinya keberadaan kami hanya sedikit dibutuhkan dan sepertinya tak perlu dianggap, namun bukan berarti kami anggota satgas penanganan Covid-19 ini tidak mempunyai suka duka dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sosial kami.

Suka-duka sebagai petugas atau anggota satuan tugas penanganan Covid-19 sangat kami rasakan, dan boleh dikata bahwa dalam tugas ini tidak ada sukanya, yang ada hanya sedih dan duka.

Bagaimana tidak, yang kami temui hanyalah kekhawatiran-kekhawatiran dari warga, mulai dari kekhawatiran tertular hingga kekhawatiran ekonomi dan sosial, ini semua menjadi keluhan bersama di masyarakat.

Tugas kami satgas Covid-19 RW/RT sesungguhnya tidaklah sesederhana yang dipikirkan. Saya di sini bukan mau curhat atau mengeluh, tapi hanya berbagi suka-duka, bagaimana Covid-19 ini memang harus kita hadapi dan atasi secara bersama.

Tugas pertama yang menjadi fokus kami adalah melakukan pendataan kondisi warga di lingkungan RT/RW kami, terhadap warga yang rawan terdampak ekonomi, baik itu rumah tangga maupun usaha.

Sebenarnya mudah saja, di RW kami hanya terdapat sekitar 300-an rumah tangga. Namun data yang dibutuhkan itu harus tersedia secara cepat, yakni hanya dalam waktu sehari paling lama dua hari harus telah rampung dan lengkap.

Data yang kami himpun bukan saja nama dan jumlah anggota keluarga tapi lengkap dengan bukti identitas yang bersangkutan, itu pun kami pilah mana keluarga yang masuk kategori sangat rawan, rawan, agak rawan, tidak rawan dan mandiri. 

Di sini suka duka tugas mulai dirasakan, bagaimana warga yang masuk kategori sangat rawan tapi ketika dimintai bukti kartu identitas untuk dilampirkan, ada yang bilang tidak punya, ada yang bilang lupa taruh di mana, ada yang bilang tidak mampu pergi fotocopy, dan lain sebagainya.

Selanjutnya penentuan warga itu masuk kategori mana, ini juga menjadi persoalan khususnya antara yang rawan dan agak rawan dan rentang kategori ini jumlahnya yang cukup banyak, ada yang ngotot harus masuk rawan bahkan sangat rawan, ada pula yang merasa tersinggung dimasukkan ke dalam kelompok agak rawan. 

Tugas pertama ini saja sudah menguras tenaga dan pikiran kami, apalagi kami rata-rata petugas atau anggota satgas adalah orang yang punya kesibukan pekerjaan, tapi yang namanya tanggung jawab tugas harus tetap dilaksanakan, kesulitan di lapangan disiasati agar bisa terakomodir, baru setelah semua selesai dan disetor ke tingkat kelurahan. 

Dua hari kemudian data yang kami masukkan akan diverifikasi lapangan oleh tim verifikasi, kami harus mengantar dan menjelaskan kepada tim terkait hal-hal yang menimbulkan pertanyaan bagi tim verifikasi.

Apakah tugas itu sudah selesai sampai di situ? Belum, suka duka berikutnya datang lagi, Ketika data telah terverifikasi dan menjadi dasar penyaluran bantuan sosial bagi warga yang terdampak Covid-19. 

Ketika bantuan mulai ada yang disalurkan, ada yang dapat beberapa bentuk bantuan, ada yang dapat hanya satu bentuk bantuan dan ada juga yang belum dapat. 

Dan komplain terkait hal tersebut, otomatis akan langsung mengarah kepada kami-kami ini sebagai petugas, meskipun sudah dijelaskan bahwa apa yang menjadi tugas kami telah kami kerjakan. Lalu, semua data tidak ada yang terlewat, putusan siapa yang dapat, siapa yang tidak itu bukan ditentukan oleh kami satgas RT/RW, namun masih saja ada yang muring-muring menyalahkan kami, apa boleh buat, elus dada saja. 

Terkait bantuan-bantuan sosial seperti ini, yang di atas itu tidak merasakan, kami yang di bawah yang menjadi ujung tombak harus berhadapan langsung dengan warga yang "berhak" menerima bantuan menjadi sasaran ketidakpuasan, tapi kami maklum dalam kondisi darurat yang memerlukan aksi cepat, tidak mungkin kita bisa mendapatkan hasil seperti jika dalam kondisi yang normal.

Apakah hanya itu suka duka jadi petugas Covid di tingkat RT/RW? Tentu saja tidak, sosialisasi dan edukasi terhadap penerapan protokol kesehatan yang kami lakukan di lingkungan kami, yah sama dengan gambaran umum yang terjadi di masyarakat luas.

Ada yang antusias, ada yang biasa-biasa saja, dan ada juga yang acuh tak acuh bahkan membangkang, sikap seperti ini pastinya akan jadi "bibit" ketidakberhasilan bagi upaya bersama kita mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. 

Masih banyak yang enggan pakai masker, tidak cuci tangan, dan abai terhadap aturan jaga jarak. Kalau berbicara bantuan sosial banyak yang mengaku takut dan khawatir terdampak Covid-19, tapi ketika diminta untuk mematuhi protokol kesehatan, macam-macam alasan yang mereka berikan. 

Iustrasi (Sumber: ekonomi.okezone.com)
Iustrasi (Sumber: ekonomi.okezone.com)
Lagi-lagi kondisi begini yang membuat duka bagi kami petugas satgas, yang khawatir terhadap Covid mengeluh dan menegur kami yang tidak bisa menertibkan warga yang "nakal", sementara yang "nakal" marah kepada satgas yang katanya terlalu kepo dengan urusan orang. Pokoknya kami hanya bisa tepok jidat.

Dan puncak dukanya sebagai petugas satgas Covid-19 RT/RW, saya rasakan ketika ada warga di lingkungan saya yang terkonfirmasi positif Covid-19. 

Dua orang warga, suami-istri yang memiliki gambaran gejala Covid-19, demam, batuk dan kehilangan indera penciuman tapi tidak mau diberitahu dan selalu saja menganggap dirinya tidak tertular Covid-19, dan masih berkeliaran, bahkan sempat ikut berkumpul membuat kue-kue di tempat kerabatnya yang kebetulan saat itu akan mengadakan acara pesta perkawinan, dan yang parahnya lagi tidak mau menggunakan masker dan tidak mau jaga jarak sama sekali, justru orang yang sehat yang akhirnya memilih untuk jaga jarak. 

Alhasil ketika sang suami yang selama ini sakit, hanya selalu mendasarkan pada diagnosa dokter yang menyatakan ia terkena Tifus bukan Corona (diagnosa tanpa melalui PCR test). Baru ketika sudah agak parah dan dirawat di rumah sakit, kemudian dilakukan swab, hasilnya positif, begitu pula istrinya.

Tentu saja konfirmasi positif dari warga ini menimbulkan kehebohan dan khawatir,, apalagi sehari sebelumnya ada acara pesta perkawinan, di mana si pasien terlihat pernah berinteraksi di dalamnya. 

Ketika kami membantu tim kesehatan untuk memberikan data warga yang pernah kontak erat dengan pasien sebagai bagian dari upaya tracing, kami mendapat kesulitan karena orang-orang yang pernah kontak erat, menyembunyikan dan tidak mau mengaku, dan ketika pun kami berhasil membuktikan bahwa mereka pernah melakukan kontak erat dengan pasien tersebut, justru beberapa dari mereka menolak untuk di-swab.

Namun, ada yang beberapa orang yang berhasil kami bujuk meskipun merasa terpaksa, ada juga yang sama sekali tidak mau. Sedikit salah saja, mereka tersinggung hingga membentak, dan lagi, sasarannya ialah kami sebagai satgas RT/RW.

Lucunya yang mau untuk di-swab dan yang tidak mau di-swab, semuanya menyalahkan satgas, padahal kami ini bergerak hanya sebagai bentuk kepedulian kami kepada lingkungan, adapun protokol siapa yang harus di-swab, bagaimana caranya itu urusan dinas kesehatan atau puskesmas.

Ceritanya begini, ketika pagi petugas dari dinas kesehatan menghubungi saya, bahwa siang nanti petugas akan datang untuk menjemput korban yang kontak erat untuk ditracing, saya katakan tunggu agar saya dapat konfirmasi balik dulu kepada orang-orang yang akan di-tracing itu. 

Ketika saya datang menyampaikan bahwa siang nanti petugas akan datang menjemput, mereka mengamuk dan merasa tidak perlu diperiksa.

Saya cuma bilang jangan mengamuk ke saya, saya cuma menyampaikan untuk mencari baiknya bagaimana, apakah mau dijemput atau pergi sendiri atau kalau tidak mau yah terserah tapi ikuti protokol kesehatan seperti yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan yang pernah datang. 

Karena memang mereka sudah diberitahu sebelumnya bahwa harus diperiksa, maka mereka akhirnya bilang ke saya akan pergi sendiri, tidak mau dijemput, itu pun disampaikannya dengan nada yang ketus. 

Saya lalu bilang akan lebih bagus jika berangkat sendiri-sendiri, sebab belum tentu juga hasil swab yang akan diambil ini menyatakan semua positif, malah kata saya mudah-mudahan semua negatif, dan kalau toh ada yang positif, perginya kan sendiri-sendiri jadi aman, begitu kata saya dan mereka pun setuju. 

Saya memang tidak langsung, tapi saya menunggu mereka yang menelpon, tapi ternyata mereka menelpon saya ketika sudah ada di lokasi penjemputan dan lengkap dengan ambulance yang dikawal oleh petugas kepolisian (katanya standar penjemputan), saya pun menjelaskan keinginan mereka ialah pergi sendiri tanpa dijemput. Dan akhirnya petugas penjemputpun pulang tak jadi menjemput.

Nah inilah yang kembali dimainkan oleh mereka-mereka yang suspek ini untuk menyalahkan saya sebagai petugas satgas, yang katanya akan memaksa mereka untuk dijemput dengan membawa aparat polisi (kebetulan saat kejadiaan ada rombongan satu mobil polisi beserta empat motor anggota brimob yang hanya lewat saja). 

Lalu orang-orang yang tidak mau di-swab melempar isu kalau saya yang menyuruh petugas penjemput untuk pulang saja dan tak perlu ada yang di-tracing. 

Sungguh suka duka yang menyakitkan, akhirnya warga yang tidak tahu permasalahan justru menyalahkan kami tim Covid-19RT/RW. Yang terjadi akhirnya saling curiga dan jaga jarak antara warga.

Dan satu lagi hasil pemeriksaan swab test, 9 orang yang di-tracing, menyatakan 1 orang yang positif, dan ketika kontak erat dari pasien yang dinyatakan positif ini kembali menolak untuk di-swab, dengan banyak alasan yang dibuat-buat dan hasilnya ini mereka sembunyikan dari warga yang lain.

Namun kami tidak kehilangan akal untuk membujuk, dan akhirnya kontak eratnya mau dites, hasilnya 3 kontak erat diperiksa, 1 dinyatakan positif. Agar tidak menimbulkan kehebohan yang lebih luas, kami tim satgas RT/RW meminta agar penanganan pasien ini ditangani langsung oleh dinas.

Sebagai penutup, dari penelusuran yang saya lakukan terhadap pasien positif Covid-19, beserta orang-orang yang terkontak erat, rupanya mereka mendapatkan informasi yang kurang tepat dan informasi itu bersumber dari "oknum" tenaga kesehatan yang merupakan keluarga pasien. 

Informasi yang mungkin bertujuan memberikan semangat bagi pasien, untuk kalangan medis mungkin bisa dicerna dan diterjemahkan positif, tapi bagi orang awam, informasi seperti itu bisa diterjemahkan secara sesat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun