Mohon tunggu...
Chrysanta Diar
Chrysanta Diar Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang pernah aktif mengajar di sekolah. Memiliki hobi menulis di media sosial sebagai salah satu hiburan di kala senggang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selepas Semua Cerita

29 November 2024   08:33 Diperbarui: 29 November 2024   08:33 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(pexels-atccommphoto-3732384 (sumber: pexels.com))

Pagi itu masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Matahari malu-malu menyelinap di antara tirai jendela, membangunkan Bayu dengan kehangatan yang tak pernah ia hargai sebelumnya. Namun, tidak ada suara ceret mendidih atau aroma kopi yang biasa menyambutnya di dapur. Rumah terasa kosong, dingin, dan sepi---persis seperti hatinya.

Sudah dua bulan sejak Sarah pergi. Dua bulan sejak istrinya, yang selama sepuluh tahun terakhir selalu berdiri di sisinya, akhirnya memilih menyerah. Bayu tak pernah mengira bahwa kata "cerai" yang diucapkan Sarah hari itu akan benar-benar menjadi kenyataan.

Dia duduk di sofa ruang tamu, mengamati bingkai foto pernikahan mereka yang masih terpasang di dinding. Wajah mereka berdua tersenyum bahagia di foto itu---sebuah kebahagiaan yang kini hanya menjadi kenangan. Ia meraih cangkir kopi yang kini selalu dingin sebelum sempat ia habiskan, lalu menatap ke luar jendela. Hatinya kembali dihantam oleh perasaan yang sama: penyesalan.

Bayu bukanlah suami yang sempurna. Ia tahu itu. Selama bertahun-tahun, ia sering kali lalai pada hal-hal kecil yang penting bagi Sarah. Lupa ulang tahun, datang terlambat saat makan malam, janji yang teringkari, dan kebohongan-kebohongan kecil yang lama-lama menggunung.

Sarah, di sisi lain, selalu bersabar. Ia memaafkan Bayu ketika dia lupa menghadiri acara keluarga. Ia tersenyum saat Bayu lupa membelikan hadiah ulang tahun yang sudah diingatkan berkali-kali. Ia bahkan memaafkan Bayu ketika ketahuan berbohong tentang lembur di kantor, padahal sebenarnya ia pergi bermain kartu dengan teman-temannya.

"Aku memaafkanmu, Mas. Tapi tolong, jangan ulangi lagi," kata Sarah saat itu.

Namun, Bayu mengulanginya. Lagi dan lagi.

Hari itu, Bayu pulang terlambat. Lagi. Sarah sudah menunggu di ruang tamu dengan tatapan yang sulit dibaca. Bukan marah, bukan kecewa. Hanya... lelah.

"Mas." Sarah membuka suara dengan tenang. "Kau tahu apa yang membuatku tetap bertahan selama ini?"

Bayu, yang baru saja melepaskan sepatu, hanya mengangguk lemah.

"Karena aku mencintaimu." lanjut Sarah. "Aku mencintaimu lebih dari apa pun. Tapi cinta saja tidak cukup jika kau terus menerus melukai perasaan orang yang mencintaimu."

Bayu mendekati istrinya, mencoba menggenggam tangannya. Namun, Sarah menarik diri.

"Aku sudah memaafkanmu terlalu banyak kali, Mas. Aku lelah. Aku tidak bisa terus hidup dalam lingkaran ini."

"Sarah, aku bisa berubah. Kumohon, beri aku satu kesempatan lagi." Bayu memohon.

Sarah menggeleng. Air matanya mengalir pelan. "Aku sudah memberimu banyak kesempatan. Tapi kali ini aku harus memilih diriku sendiri. Aku ingin bahagia, Mas. Dan aku tak lagi bisa menemukannya di sini."

Sejak hari itu, hidup Bayu berubah total. Rumah yang dulu dipenuhi suara tawa Sarah kini menjadi sunyi. Bayu mulai merasakan kehilangan pada hal-hal kecil yang selama ini dianggap remeh: aroma masakan Sarah, gelak tawa mereka saat menonton film, dan bahkan pertengkaran kecil yang dulu dianggap menyebalkan.

Ia menghabiskan malam-malamnya dengan menatap layar ponsel, berharap ada pesan dari Sarah. Namun, tidak pernah ada.

Bayu mencoba mencari pelarian. Ia kembali bertemu dengan teman-temannya, mencoba mengalihkan perhatian dengan tawa dan alkohol. Tapi semua terasa hampa.

Suatu malam, Bayu berdiri di depan cermin di kamar mereka yang dulu. Ia melihat bayangan dirinya yang berbeda. Mata yang dulu penuh percaya diri kini tampak lesu. Wajah yang dulu selalu dihiasi senyum kini dipenuhi garis-garis penyesalan.

"Ini semua salahku." gumamnya.

Bayu mencoba menghubungi Sarah. Ia mengirim pesan, menelepon, bahkan mencoba menghubungi teman-teman dekatnya. Namun, Sarah tetap tidak memberikan jawaban.

Sampai akhirnya, ia mendengar kabar dari seorang teman bahwa Sarah telah pindah ke kota lain, memulai hidup baru.

Bayu tahu dia harus menemui Sarah. Bukan untuk memohon kembali, tapi untuk meminta maaf. Permintaan maaf yang tulus, bukan sekadar janji kosong seperti sebelumnya.

Bayu akhirnya menemukan alamat Sarah. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu apartemen kecil itu. Pintu terbuka, dan di sana berdiri Sarah, terlihat berbeda namun tetap cantik seperti yang ia ingat.

"Mas?" suara Sarah terdengar kaget.

"Hai, Sarah," jawab Bayu dengan suara bergetar. "Boleh aku masuk?"

Sarah ragu sejenak, tapi akhirnya membiarkannya masuk.

"Kenapa kau ke sini?" tanya Sarah setelah mereka duduk di ruang tamu yang sederhana namun hangat.

Bayu menarik napas dalam. "Aku tidak datang untuk memintamu kembali. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang seharusnya aku katakan sejak lama."

Sarah menatapnya, menunggu.

"Aku minta maaf, Sarah. Aku tahu kata-kata ini mungkin sudah terlambat, tapi aku benar-benar menyesal. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakanmu, menyia-nyiakan cinta dan kesabaranmu."

Sarah terdiam sejenak. "Aku sudah memaafkanmu, Mas. Aku memaafkanmu untuk semua kesalahanmu. Tapi maaf saja tidak cukup untuk memperbaiki semuanya."

Bayu mengangguk. "Aku tahu. Aku tidak berharap kau kembali. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau berhak mendapatkan kebahagiaan. Dan jika kau menemukan itu tanpa aku, maka aku akan belajar menerima."

Mata Sarah berkaca-kaca. "Terima kasih, Mas."

Bayu pulang ke rumah dengan hati yang lebih ringan meski rasa sakit masih ada. Ia tahu bahwa cinta kadang tidak cukup untuk mempertahankan hubungan jika tidak disertai dengan tanggung jawab dan penghargaan.

Sejak pertemuan itu, Bayu mulai belajar hidup sendiri. Ia belajar menjadi pribadi yang lebih baik, bukan untuk mendapatkan Sarah kembali, tapi untuk dirinya sendiri.

Setiap pagi, ia menatap matahari yang menyelinap di antara tirai jendela. Dan meski tak lagi ada Sarah di sampingnya, ia tahu bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan kembali arti kebahagiaan.

Namun, satu hal yang akan selalu ia simpan adalah kenangan tentang wanita yang pernah mencintainya dengan seluruh hati---dan yang ia sia-siakan dengan kebodohannya sendiri.

Jombang, 29 November 2024

Chrysanta Diar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun