"Aku lelah, Mas. Aku lelah dengan hubungan kita yang seperti ini. Kita tidak pernah bicara, tidak pernah menyelesaikan masalah. Kau selalu diam, dan aku yang harus menebak-nebak apa yang kau rasakan."
Irwan menghela napas, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya tetap terkunci.
"Aku sudah memikirkan ini sejak lama," suara Khairani mulai bergetar. "Aku ingin kita berpisah."
Kata-kata itu akhirnya terucap. Dan untuk pertama kalinya, ekspresi di wajah Irwan berubah. Matanya membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Berpisah?" Irwan akhirnya berbicara. Suaranya terdengar serak, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari tidur panjang.
"Ya," jawab Khairani dengan tegas. "Aku tidak bisa terus seperti ini, Mas. Aku butuh pasangan yang bisa berbagi, bukan hanya diam."
Irwan terdiam lagi, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Bukan keheningan yang dingin, melainkan keheningan yang penuh penyesalan.
"Apa... apa yang bisa aku lakukan?" tanya Irwan pelan.
Khairani menatapnya, mencari kejujuran di balik mata suaminya. "Aku tidak tahu, Irwan. Tapi aku tahu satu hal: jika kau ingin mempertahankan keluarga ini, kau harus berubah. Kita harus berubah."
Irwan mengangguk pelan. "Aku... aku akan mencoba."
---