Malam itu, hujan turun deras di luar jendela kamar. Gemericik air yang jatuh di atas atap tak mampu menutupi kekosongan di dalam hati Khairani. Ia duduk di ujung ranjang, menatap koper yang setengah penuh di lantai. Di tangannya, surat gugatan cerai yang telah ia siapkan sejak seminggu lalu.
Sudah delapan tahun ia menikah dengan Irwan. Delapan tahun yang di awal terasa seperti mimpi indah, tetapi perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan. Irwan, pria yang dulunya penuh kasih dan perhatian, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan tidak peduli.
Masalah terbesar dalam pernikahan mereka bukanlah pertengkaran besar atau perselingkuhan. Itu adalah diam. Saat Irwan marah atau kecewa, ia memilih untuk mengunci diri dalam dunianya sendiri. Silent treatment menjadi senjatanya yang paling tajam, melukai Khairani tanpa kata-kata, membiarkannya tenggelam dalam kebingungan dan frustrasi.
"Apa aku salah? Apa yang sebenarnya dia inginkan?" pertanyaan itu selalu bergema di kepala Khairani setiap kali Irwan mengacuhkannya.
---
Tadi pagi, pertengkaran kecil kembali terjadi. Masalah sepele---hanya soal Irwan yang memarahi kedua anak mereka karena berebut mainan. Saat Khairani menanyakan kenapa ia semarah itu, bukannya meminta maaf, Irwan memilih diam.
"Mas, aku hanya ingin kita bicara," ucap Khairani dengan nada lembut, mencoba mengurai benang kusut di antara mereka. Tapi seperti biasa, Irwan hanya berlalu tanpa sepatah kata.
Khairani merasa lelah. Bukan lelah fisik, tetapi lelah emosional. Hubungan mereka seperti berjalan di atas kaca yang retak. Setiap langkah terasa seperti ujian, dan Khairani tahu dirinya sudah berada di ambang batas.
Malam itu, Khairani mengunci diri di kamar. Ia menimbang-nimbang keputusan yang selama ini menggelayut di pikirannya. Cerai. Mungkin itu satu-satunya jalan keluar.
Namun, ketika ia hampir memasukkan surat gugatan cerai ke dalam amplop, suara ketukan lembut di pintu kamar mengagetkannya.