Usai sudah sekolah hari itu. Murid-murid dari kelas XB sudah pada keluar semuanya. Dan semuanya membahas mengenai suatu film yang tadi mereka tonton dalam pelajaran sejarah. Film dokumenter itu menarik sekali, sampai keluar kelaspun masih diperbincangkan. Namun hanya Phil saja yang pikirannya nggak kesana.
Kalau dipikir ulang, aku bisa menolak kan?, itulah solusi darurat yang baru saja ia buat. Dia nggak kenal keluarga Bu Sari, dan hanya akan membuang waktunya kalau dipakai untuk menemani cewek itu mengobrol. Namun ada suatu perasaan optimis dari sisi pikirannya yang lain. Kau bisa mengajaknya buat proyek bareng kan? Itu pasti akan sangat menguntungkan bagimu, selain hanya buat program untuk rumahan, itu katanya. Kalau saja otaknya ini bisa diajak kerja-sama, dan bukannya menambah rumit situasi. Setidaknya baru kali ini dia membakar otaknya sedemikian rupa. Baginya, masalah ini jauh lebih sulit ketimbang membuat program enskripsi untuk menyimpan data rahasia.
Dia terus saja berputar-putar, antara menolak atau tidak. Terus hingga dia sampai pintu depan ruang BP tersebut. Dia mengetuk beberapa kali, lalu suara dari dalam berkata, "Masuk saja!" Itu suara Lisma, bukan suara Bu Sari.
Phil pun dengan perlahan membuka kenop pintu, dan melihat ke dalam. Dia awalnya tidak mengira kalau Bu Sari bakal keluar dari ruangan, tapi mungkin dia sudah mendapatkan jawabannya. Ruangan itu tidak besar memang, namun masih bisa memuat kursi panjang, meja kopi, dan meja ruang kerja Bu Sari. Dalam situasi normal, rasanya lega malah. Namun sekarang dia merasa ada sedikit penyempitan. Soalnya diatas meja kopi itu serta di kursi panjang tamu tersebarlah begitu banyak kertas berisi sketsa-sketsa, laptop, dan scanner portable. Di belakang laptop itu duduklah Lisma yang sedang mengedit suatu gambar di laptopnya.
Lisma bahkan sudah tidak memperhatikan penampilannya lagi. Rambut panjangnya terurai agak berantakan, begitu pula lengan bajunya merosot, miring ke satu sisi. Bahkan bajunya hanya dimasukkan sebagian.
Phil seakan mengalami dejavu, namun yang menjadi tokohnya bukanlah dia, melainkan cewek didepannya. Setelah diam agak lama, Phil kemudian bertanya, "Ngapain?"
"Kelihatan kan?", sahut Lisma cepat. Phil tahu harusnya dia nggak bertanya seperti itu, namun dia gugup kalau disuruh membuka pembicaraan.
"Eh, iya sih. Tapi dengan begini banyak kertas?", tambah Phil. Sekarang dia makin merasa bodoh. Bukannya memulai pembicaraan yang hangat, dia malah seakan ngajak ribut.
"Masalah buat kamu?", jawab Lisma, agak ketus sekarang. Jelas dia merasa terganggu dengan pembicaraan ini. Phil juga biasanya begitu, makanya dia jadi agak mengerti, merasa bersalah, lalu hanya duduk di depan meja kerja Bu Sari. Dalam diam.
Tapi baginya ini nggak normal, masa dia sekarang yang disuruh diam bagai patung? Lagipula kan katanya nggak baik kalau mendiamkan tamu. Yah, kalau tamunya nggak mau diganggu, jangan diganggu, suatu suara dalam kepalanya memberi tahu.