"Pokoknya ibuku tidak merestuiku karena itu. Memang semenjak kelas 5 aku mengenal dunia pemograman dari kakakku, ibuku sangat bangga aku bisa menguasai hal seperti itu. Namun kelas 6 ku menjadi penuh masalah, dan selama di SMP, aku tidak memiliki teman yang tetap. Aku bahkan jarang berbicara dengan orang lain di sekolah. Hingga akhirnya, sebelum UN, aku dipaksa berjanji pada ibuku untuk mulai masuk ke dunia remaja yang normal, kalau tidak aku tidak boleh menyentuh komputer lagi. Aku lalu berusaha membangun relasi dengan orang lain. Tetapi kupikir usahaku kurang keras, masih banyak yang enggan berbicara padaku, atau mungkin itu aku ya? Maka dari itu tantemu merasa aku ini masih kelewat kaku. Tetapi kupikir kamu tidak asing dengan kondisi seperti ini?"
Phil berbicara dengan amat lancar, kepada orang yang baru dia kenal kira-kira sepuluh menit. Dia bahkan kaget dia bisa berbicara sebanyak itu, sebab belum pernah dia melakukannya. Palingan juga dia cuma bicara satu atau dua kalimat saja. Bahkan temannya Bodinpun, teman yang menurutnya paling banyak diajak bicara, belum pernah diberitahu segamblang ini.
Lisma mengangguk, menjawab pertanyaan terakhir Phil. "Aku malah lebih parah. Aku dari jaman dulu tidak merasa nyaman dengan lingkungan sosialku. Teman-temanku dan aku tidak pernah akrab. Aku merasa mereka terlalu kekanak-kanakan, dan tidak bisa berpikir mengenai masa depan mereka. Maka dari itu aku minta di home schooling kan. Papa punya biaya untuk itu, jadi dia mengijinkannya. Aku punya waktu banyak untuk menyelesaikan karya-karyaku. Beberapa malah sudah ku terbitkan, kalau kau rajin ke toko buku sih. Otomatis, teman-temanku juga menjauh, dan semakin jauh hari demi hari. Aku berteman dengan beberapa teman di internet, tentu saja. Mereka perhatian, dan jauh lebih dewasa, kurasa. Tapi tante lalu kasih tahu papa, kalau menurutnya tidak baik aku dibiarkan jadi hikikomori (istilah di Jepang untuk orang-orang yang mengurung diri di rumah). Jadi ia memaksaku untuk bersekolah. Aku tentu saja berontak, dan kau tahu kelanjutan kisahnya"
Phil berpikir sejenak mengenai gadis ini. Kasusnya memang lebih parah. Dia ingin bantu, tapi nggak bisa orang buta menuntun orang buta. "Bagaimana kalau kita bekerja sama membuat program seperti visual novel?", mendadak Phil bangkit dengan ide itu. Toh, kalau memang mereka berdua terjebak, kenapa nggak dimanfaatkan saja?
"Visual novel? Ide yang menarik tuh. Aku juga kadang-kadang bosan melihat cerita dalam format biasa", Lisma menanggapi, membuat Phil paling tidak punya jalan baru untuk melakukan tugas yang bahkan dia nggak minta ini. "Jadi, mau ketemu kapan, partner?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H