Mohon tunggu...
Kristoporus Ricky Richardo
Kristoporus Ricky Richardo Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Biarawan

Mencoba untuk lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Etika Sosial dan Konsep Negara Menurut Thomas Hobbes

1 Oktober 2021   12:44 Diperbarui: 29 Maret 2022   21:45 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ETIKA SOSIAL DAN KONSEP NEGARA MENURUT THOMAS HOBBES

 Tesis

Epistemologi dan etika manusia dari Thomas Hobbes menjadi salah satu yang paling banyak dibahas. Gagasannya tentang 'Homo Homini Lupus' menjadi semacam motto yang sering didengungkan banyak orang. Pengalaman hidup dan ide-idenya tentang tatanan masyarakat menjadi topik yang menarik untuk dibahas pada bagian ini.

Argumentasi Thomas Hobbes

Thomas Hobbes mempunyai pandangan bahwa filsafat harus terlepas dari unsur-unsur teologis. Kajian filosofis haruslah obyek-obyek yang bisa dialami oleh manusia. Hobbes menolak dengan tegas konsep metafisika tradisional yang memulai konsep Allah sebagai penyebab pertama kenyataan. Menurutnya, materi dan gerak merupakan penyebab pertama kenyataan itu. 

Dengan kata lain, pandangan Hobbes tentang epistemologi adalah berdasarkan pengalaman empiris yang terobservasi. Setiap manusia akan mengalami suatu pengalaman hidup, dari pengalaman itu kemudian manusia akan mengobservasinya hingga akhrinya menjadi sebuah pengetahuan.

Selain itu Hobbes juga mempunyai sebuah pemikiran tentang nominalisme, yakni bahwa kata-kata hanya sebagai tempelan pada benda. Dasar dari semua pengetahuan adalah pengalaman, oleh karena itu kata-kata hanya ditempelkan pada suatu benda tanpa ada kenyataan dalam dirinya, yang menjadi kenyataan adalah pengalaman akan benda-benda yang sudah diverifikasi secara empiris.

Etika

Etika dari Thomas Hobbes mengacu kepada kehidupan manusia. Menurutnya, perasaan-perasaan yang dialami manusia merupakan hasil dari pengalaman luar yang masuk ke dalam alam pikir manusia melalui pancaindera dan kemudian dari situ menghasilkan reaksi-reaksi untuk mendekati atau menjauhi obyek tertentu. 

Dalam hal ini Hobbes membagi reaksi itu menjadi dua bagian. Reaksi pertama disebut 'nafsu'. Reaksi ini terjadi apabila manusia mengalami sesuatu yang menyenangkan atau menggembirakan dan kemudian manusia itu mendekatinya, contohnya rasa nikmat, gembira, cinta, dll. Sementara reaksi yang kedua adalah 'pengelakan'. 

Reaksi ini terjadi apabila manusia mengalami sesuatu yang menyakitkan, dan kemudian bergerak menjauhinya, contohnya adalah benci, kesedihan, rasa takut, dll. Kedua reaksi ini terus menerus ada di dalam diri manusia. Keduanya akan bersaing dan kemudian yang menang akan menghasilkan sebuah 'kehendak'.

Pada penjelasan berikutnya, Hobbes memberi argumen bahwa manusia pada dasarnya cenderung untuk mendekati sesuatu yang dirasa baik 'nafsu', sementara yang buruk 'pengelakan' akan selalu dihindari. Manusia yang bijaksana adalah manusia yang mampu memaksimalisasi pemenuhan keinginan-keinginan untuk kesejahteraan individualnya, untuk dapat memperoleh keinginan individualnya itu. 

Akibatnya, terjadi persaingan yang luar biasa. Manusia akan saling bersaing satu dengan yang lain demi memperebutkan sumber-sumber hidup yang terbatas jumlahnya. Keadaan inilah yang kemudian disebut oleh Hobbes sebagai 'Homo Homini Lupus' (Manusia menjadi serigala bagi sesama).

Konsep Politik

Homo Homini Lupus itulah argumentasi yang dikeluarkan oleh Hobbes untuk melukiskan manusia yang bersaing satu dengan yang lain demi memenuhi kebutuhan individualnya. Mereka akan saling menguasai dan menundukkan agar dapat bertahan hidup. Keadaan ini tentu saja akan berlaku sangat timpang di dalam tatanan sosial masyarakat, mereka yang miskin akan semakin tertindas, sementara yang kaya akan semakin berjaya.

Dalam usaha mengendalikan situasi masyarakat yang demikian, Hobbes mengemukakan suatu ajaran tentang adanya sebuah kontrak sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Kontrak sosial ini merupakan sebuah perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Di dalam kontrak sosial ini setiap warga akan menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada sebuah lembaga yang disebut negara. 

Hobbes juga menambahkan bahwa negara yang kuat harus memiliki kekuasaan yang besar pula, dan oleh karenanya negara harus mempunyai struktur-struktur pemerintahan yang kuat agar dapat mengekang kebebasan liar masyarakat yang egoistis. Dasar pemikiran ini mirip dengan dasar pemikiran negara 'Leviathan', yakni negara yang memiliki peran absolut di dalam mengendalikan kehidupan warga masyarakat.

Kritik dan Relevansi Terhadap Argumentasi Hobbes

Thomas Hobbes memang telah meletakkan dasar argumentasinya berdasarkan kajian-kajian empiris yang telah diverifikasi. Namun, bukan berarti bahwa apa yang dikemukakan oleh Hobbes itu sudah absolut tanpa celah untuk dikritisi. Konsep etika dan politik yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes sangat menarik untuk dikritisi, dan ini bisa menjadi semacam 'studi banding' bagi kita untuk melihat situasi masyarakat di dalam konteks bumi Indonesia pada zaman ini.

Dalam argumentasinya tentang etika manusia, Thomas Hobbes memiliki pandangan yang cenderung lebih negatif. Dia mengasumsikan bahwa kodrat asali manusia adalah egoistis. Keegoisan manusia ini berdampak pada sikap manusia yang saling menguasai dan menundukkan guna memperoleh apa yang menjadi keinginan individualnya. 

Statement ini tidaklah sepenuhnya bisa diterima begitu saja. Manusia memang memiliki kecenderungan ke arah demikian, namun perlu diingat bahwa selain memiliki kemampuan akal budi, manusia juga memiliki perasaan sebagai penyeimbang. Inilah yang sama sekali 'luput' dari pandangan Hobbes.

Paradigma negatif dan rasa cemas akan berlebihan terhadap kehidupan manusia lantas mendorong Hobbes untuk mengemukakan gagasan tentang negara sebagai kontrak sosial. Di dalam kontrak sosial itu, setiap warga akan menyerahkan diri dan kehendak mereka kepada penguasa yang diberi mandat untuk mengatur kehidupan sosial.

Negara yang dibentuk atas dasar gagasan Hobbes ini merupakan negara dengan peran yang absolut, artinya negara yang memiliki kekuasaan tertinggi, tanpa kompromi dan otoriter, seperti negara 'Leviathan' yang dimaksudkan oleh Hobbes. 

Dari sisi baiknya, bentuk negara yang seperti ini memang bisa untuk mengendalikan kehendak bebas setiap individu, akan tetapi sisi buruknya adalah negara bisa bersikap semena-mena terhadap rakyat apabila tidak sesuai dengan kehendak pemerintah.

Hobbes seharusnya melihat bahwa pernyataan manusia sebagai 'homo homini lupus' harus diganti dengan 'homo homini socius' (manusia teman bagi yang lain), mengapa? Karena manusia bukan melulu hidup berdasarkan rasionalitas saja. Mereka juga memiliki kepekaan untuk peduli terhadap yang lain. Banyak contoh teladan dari orang-orang yang rela melepaskan keinginan pribadinya demi kepentingan orang lain. 

Di India misalnya, ada Suster Theresa yang membaktikan dirinya untuk melayani orang-orang miskin dan tersingkirkan di Kalkuta. Ada pula Fransiskus dari Assisi, seorang anak pedagang kain yang rela melepaskan kenikmatan hidup untuk melayani dan merawat orang miskin, dan masih banyak contoh yang lain.

Artinya, pandangan Hobbes tentang manusia yang hanya mementingkan keinginan pribadinya tidak bisa sepenuhnya dijadikan dasar pembenaran argumentasinya. Bukti bahwa masih banyak orang yang peduli satu kepada yang lain bisa menjadi bahan perbandingan. 

Setiap manusia memiliki cita rasa kebaikan di dalam dirinya, tinggal bagaimana mereka mengasah dan mempertajam kebaikan itu lewat pendidikan dan membangun sikap hidup yang baik di dalam keluarga dan masyarakat. 

Setiap manusia memiliki akal budi dan perasaan. Kedua entitas ini harus bisa berjalan bersama dan saling melengkapi. Homo Homini Lupus yang digagas oleh Hobbes hanya salah satu sudut pandang dalam melihat situasi hidup manusia. Oleh karena itu, gagasan ini tidak bisa dijadikan kebenaran mutlak.

Di dalam tatanan hidup bersama sebagai masyarakat yang majemuk, hendaknya kita saling menghargai nilai-nilai perbedaan yang terkandung di dalam setiap ras, agama dan budaya. Tiap-tiap ruang memiliki nilai keutamaan yang tidak bisa dicampur adukan dengan nilai keutamaan yang lain. 

Seperti contoh, meskipun Indonesia mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tetapi orang-orang Islam tidak bisa dan tidak boleh memaksakan kehendak mereka untuk menyeragamkan seluruh Negara Indonesia menjadi satu warna saja. Mereka harus tetap menghargai orang-orang lain yang mempunyai iman yang berbeda dengan mereka. Keberagaman itu indah asal mau saling menerima.

Jadi, belajar dari apa yang disampaikan oleh Thomas Hobbes, mari kita merubah Homo Homini Lupus menjadi Homo Homini Socius. Setiap orang boleh punya keinginan pribadinya, tetapi sebagai orang yang hidup bersama dengan yang lain, mari kita juga memberi perhatian kepada kebutuhan orang-orang lain yang ada di sekitar kita.

Daftar Pustaka

 

Bertens K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1976.

Ham J. Contractarianism. London: Cambridge University Press. 1999.

Hardiaman, Budi F. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. 2004.

Suseno, Franz Magnis. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. 1992.

Macpherson C.B. Thomas Hobbes: Leviathan. New York: Pelican Books. 1968.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Gramedia Pustaka Umum. 2004.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun