Kanisian dan para santri dipecah hingga beberapa kelompok kecil supaya pembicaraan bisa dilakukan dengan lebih mendalam. Melalui pembahasan tersebut ditemui bahwa banyak hal di luar agama masing-masing yang belum diketahui. Hal tersebut membuat diskusi kelompok kecil ini menjadi ajang untuk memperoleh informasi agama sesama sebanyak-banyaknya.Â
Setelah dinamika diskusi kelompok kecil, para Kanisian diajak untuk mengikuti shalat Isya. Selain itu, setelah shalat Isya, Kanisian diajak untuk mengikuti dinamika di masjid. Dinamika tersebut seperti sebuah pertemuan yang dipimpin oleh Kiai untuk membahas permasalahan faktual yang baru saja terjadi pada saat itu. Hal tersebut membuat para Kanisian ikut masuk ke dalam pembahasan yang mendalam tersebut hingga larut.Â
Hari berganti, tanggal 1 November 2024 telah tiba. Waktu bagi para Kanisian dan santri untuk berpisah. Kanisian disuguhkan dengan parade marching band sebagai bentuk pelepasan oleh Pesantren Al Marjan.Â
Rasa sedih kian terasa di hati para Kanisian dan santri. Baru dua hari mereka hidup berdampingan, merajut pengalaman, mengenal satu sama lain, tetapi terpaksa harus berpisah di waktu yang dekat. Salah satu dari santri mengungkapkan kesedihannya dengan menulis "Kalau sudah mulai akrab, tandanya sebentar lagi pisah".
Gambaran Toleransi dalam Keberagaman Agama
Gambaran toleransi dalam keberagaman agama terpancar dalam seluruh dinamika ekskursi antara Kanisian dan santri selama dua hari ini. Kebersamaan dalam keberagaman memperlihatkan bahwa perbedaan agama, suku,, dan budaya tidak menjadi penghalang untuk menciptakan kebersamaan yang erat.Â
Para Kanisian dan santri berbaur dan berinteraksi tanpa sekat penghalang, menunjukkan bahwa keberagaman justru bisa menjadi kekuatan yang menyatukan. Terpampang pada interaksi untuk bertukar pikiran dan pengalaman dengan para santri yang membuka wawasan baru bagi para Kanisian, begitupun sebaliknya. Diskusi dalam kelompok kecil, belajar, dan mengajar bersama, serta mengikuti dinamika kegiatan sehari-hari di pesantren memperkuat kemampuan mereka dalam berkolaborasi dan berkomunikasi.
"Keberagaman, bukan pemisah masyarakat, melainkan tali tebal pengikat kita bersama dalam harmoni dan penghargaan."
Selama kegiatan, para Kanisian belajar untuk menghargai tradisi dan budaya yang berbeda dari yang mereka kenal. Menggunakan sarung dan peci, serta mengikuti berbagai kegiatan keagamaan dan budaya di pesantren membuat mereka lebih memahami dan menghargai cara hidup sebagai santri.Â
Seperti halnya mendapatkan julukan "Mang" di hari pertama ekskursi yang mengajarkan tentang pentingnya rendah hati dan menghargai sesama. Julukan tersebut bukan hanya sebuah simbol, tetapi juga pengingat bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama dan layak untuk dihormati.Â
Selain itu, tinggal di pesantren juga memberikan nilai kesadaran dan kebersahajaan, khususnya bagi para Kanisian. Makan bersama dalam satu nampan dan tidur di lantai tanpa kasur empuk memberikan pengalaman berharga. Hal tersebut mengajarkan para Kanisian untuk lebih menghargai apa yang mereka miliki dan memahami kehidupan yang lebih sederhana, serta turut membentuk karakter Kanisian yang lebih matang. Dengan mengalami langsung sebagai santri, menjalani puasa, dan mengikuti kegiatan keagamaan membuat mereka lebih disiplin, sabar, dan tegar.Â