Kecintaan terhadap pekerjaan akan membawa pengalaman berkesan. Setidaknya itulah yang dirasakan Valiant (25). Pemuda kelahiran tahun 1999 ini ingin berbagi selayang pandang tentang pengalaman 5 tahunnya sebagai seorang barista.
Valiant bertemu dengan penulis pada Kamis, 31 Oktober 2024. Kami berbincang di salah satu warung kopi langganan. Malam itu, ditemani secangkir kopi hitam pahit, obrolan pun perlahan bergulir.
Sebelum bercerita, Valiant sempat menghela nafas panjang, sembari berusaha mengingat pengalaman lalunya.
Bermula dari nasihat teman
Pria berkacamata itu memulai perjalanannya sebagai barista tahun 2019. Awalnya, ia mengeluhkan kehidupan nongkrong yang tidak produktif. Hanya bermain gim, sejak pagi hingga malam di salah satu gerai kopi. Ia sempat mengingat pesan salah satu temannya.
"Cangkruk-lah yang bermanfaat."
Sontak, pesan itu menjadi tamparan bagi Valiant. Ia mulai merenung. Kegiatan produktif apa yang sekiranya dapat dilakukan. Akhirnya, terinspirasi dari sang kakak yang juga seorang barista, barulah Valiant memulai langkah awalnya. Ia pun rela melepas hobi berbasketnya demi fokus menjadi barista.
Valiant sempat mengikuti salah satu kursus barista kecil-kecilan. Beruntung penjelasan dari sang narasumber menarik dan mudah dipahami. Itu semakin menggugah niat Valiant untuk belajar brewing. Ia pun meminta izin kepada kakaknya untuk mulai meracik kopi buatannya di coffee shop tempat saudaranya bekerja.
"Kopi pertama yang tak buat itu V60. Sempat ada yang nyobain juga dan dipuji kalau kopi buatanku enak," buka Valiant.
Tak butuh waktu lama, ia segera memulai karirnya sebagai barista. Bayangkan, seorang mahasiswa yang awalnya gabut, memutuskan untuk banting setir menjadi barista. Hanya bermodal niat dan ilmu brewing dari YouTube. Valiant memulai debutnya di salah satu gerai kopi, tepatnya di daerah Sarirogo, Sidoarjo.
"Awal kerja aku masih ingat betul. Bulan Juni tahun 2019 lalu. Gaji masih 900 ribu. Dengan gaji segitu, aku wes bahagia banget. Aku di sana 6 bulan, baru lanjut di Surabaya," lanjutnya.
Kecintaan Valiant terhadap dunia barista semakin menggebu. Bahkan, ia sempat mbelani untuk menginap di outlet. Mulai dari belajar set up mesin kopi hingga mempersiapkan toko sebelum buka. Semua dilakukan Valiant agar semakin khatam memahami ritme kerja seorang barista.
Keluhan terhadap barista Gen Z
Ada beberapa hal yang diperhatikan Valiant seiring ia mendalami dunia barista. Khususnya tren Fear of Missing Out (FOMO) Gen Z sebagai barista. Mulai dari etos kerja hingga attitude Gen Z yang memutuskan untuk terjun sebagai peramu kopi.
Ia berkata, tahun 2019 adalah awal bisnis coffee shop mulai berkembang. Fenomena itu kian ramai digemari kaula muda hingga tahun 2024. Hal itu tentu berpengaruh pada ketertarikan Gen Z bekerja sebagai barista. Tak sedikit dari mereka memilih pekerjaan barista sebagai ajang keren-kerenan.
"Temanku ada yang dari latar belakang keluarga berada, juga memutuskan kerja jadi barista. Katanya biar kelihatan keren gitu," ujarnya.
Di samping itu, alasan Gen Z untuk terjun di dunia barista terbilang beragam. Tak hanya untuk penghasilan, barista nyatanya menjadi pilihan mereka untuk eksis di kalangan sebayanya.
Valiant turut mengeluhkan etos kerja Gen Z yang menjajaki dunia barista. Ia tak menampik dirinya juga Gen Z, tapi di balik itu, banyak dari mereka menganggap enteng pekerjaan tersebut.
"Ya bukan bermaksud men-generalisir, Aku sempat terlibat dengan beberapa rekan kerja kelahiran tahun 2003 ke atas. Mereka datang kerja cuman sekedar absen. Sempat tak nasihati harus gini-gitu, malah ngeyel. Dia nggak merasa dirinya salah. Kebanyakan yang tak temui modelan begitu," beber Valiant.
Menurut Valiant, menjadi barista harus memiliki dua bekal dasar. Kedisplinan dan kepekaan (awareness). Kedua aspek itu seringkali jadi tolok ukur kualitas kerja barista. Namun, dua hal itu yang tidak dimiliki oleh rata-rata barista Gen Z.
"Kalau angkatanku karena terbilang yang ngawali dunia kerja barista ya, sebelum se-hype sekarang, secara kedisiplinan sudah terbentuk. Datang kerja sudah dari satu jam sebelum jam masuk. Lain hal sama mereka yang terjun baru-baru ini. Datangnya mepet, banyak yang telat juga. Itu masalah kedisiplinan," jelasnya.
"Kalau masalah awareness, seorang barista harus dituntut punya kepekaan yang baik. Nggak cuman di station, tapi juga saat berada di situasi tertentu. Di suatu momen, Aku sempat jadi koordinator di tempatku kerja. Nah, mereka ini nggak peka. Sudah tahu kondisi lagi ramai pelanggan, malah sempat-sempatnya bercanda," cetus Valiant.
Personal branding seorang barista
Selepas berkeluh kesah, kami memutuskan untuk berganti topik. Perbincangan kami semakin asik, tatkala playlist musik warung kopi mulai dimainkan. "Akad" karya Payung Teduh menambah suasana syahdu obrolan malam itu.
Valiant turut membahas serba-serbi seorang barista. Tepatnya outfit yang menjadi ciri khas pekerjaan itu. Semula, penampilan barista dikenal mengenakan jaket denim, tote bag, dan sneakers. Seiring berkembangnya zaman, ada tambahan "atribut" seorang barista. Tato kecil.
"Sejak dulu sampai sekarang, barista selalu punya stereotip berpakaian mereka sendiri. Ya mungkin tato kecil itu jadi tambahan biar makin keren," ucapnya seraya tertawa.
Selain gaya berpakaian, barista juga memiliki portofolio khusus. Hal itu tampak dari skill brewing mereka. Biasanya, sebagai bentuk apresiasi dan membangun personal branding, para peracik kopi itu mengabadikan serangkaian karya mereka di laman Instagram. Yang paling sering adalah latte art.
Valiant mengaku dirinya juga memiliki akun khusus diperuntukkan portofolionya sebagai barista.
"Memang setiap karya harus diabadikan. Jadi bukan sekedar difoto saja, tapi juga itu menandakan seberapa jauh perkembangan kita sebagai barista. Itung-itung kalau dilirik sama owner kopian lain. Ya, bisa juga untuk karir kita kedepan," tandasnya.
Apakah barista jadi pekerjaan rekomendasi?
Menutup pembicaraan, Valiant menganggap menjadi barista ibarat mengabdi. Banyak pelajaran yang bisa diambil ketika serius mendalami profesi tersebut. Mulai profesional kerja, kedisiplinan, dan banyak hal positif lain. Termasuk gaji yang lumayan.
"Aku dulu gaji paling besar dapat 3 juta. Kalau temanku yang masih menggeluti barista, bisa sampai 4,6 juta. Ya, nyentuh Upah Minimum Regional (UMR) Sidoarjo lah," katanya.
Meski Valiant sudah purna dari dunia barista, ia tetap merekomendasikan pekerjaan itu bagi mereka yang tertarik mencoba. Dengan catatan, harus membuang gengsi dan dijalani dengan penuh dedikasi.
"Intinya, kalau dari Aku, tetap menyarankan bagi teman-teman yang ingin mencoba nyemplung. Pesanku satu aja. Jadi barista harus mau belajar. Dengan siapa pun, kapan pun, dan dimana pun," tutupnya.
Sejak tulisan ini dibuat, Valiant tengah mencoba dunia menulis. Ia aktif sebagai penulis lepas di salah satu platform media anak muda. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, ia ingin kembali di depan bar. Menyajikan kopi bagi para pelanggan.
Obrolan kami berakhir dengan celetukan lirih Valiant.
"Jadi pengen nge-bar lagi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H