Mohon tunggu...
Politik

Pro dan Kontra dalam RUU Pertembakauan

25 Maret 2017   00:12 Diperbarui: 25 Maret 2017   00:34 2796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Latar Belakang Rancangan Undang-Undang Pertembakauan

Tarik ulur antara pemerintah kian terjadi saat membahas RUU Pertembakauan. Sebagai besar LSM hingga beberapa lembaga pemerintahan terus melakukan penolakan  sedangkan pihak DPR terus mengusahakan pengesahan RUU Pertembakauan. RUUP telah dirancang sejak tahun 2012. Draf RUU itu sendiri telah diusulkan sejak 10 tahun lampau. Namun hingga saat ini, RUUP masih dinyatakan tidak layak memasuki Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

RUUP kembali mendaftar pada Prolegnas periode 2015-2019, walaupun banyak kalangan terus menolak hal ini. Pendaftaraan kembali RUUP ini juga dinilai janggal oleh koordinator bantuan hukum YLBHI, Yulius Ibrani. Ia mengatakan bahwa pemasukkan kembali RUUP dalam Prolegnas 2015-2019 merupakan hal yang sangat tergesa-gesa untuk dilakukan.

"Untuk apa lagi diajukan lagi RUU, bukankah sudah ada sekitar 14 UU yang terkait masalah produksi, distribusi, cukai, pertanian, perkebunan tembakau dan segala macam," kata Yulius.

Selain hal tersebut, Yulius juga menyampaikan bahwa telah ada sekitar 40 RUU yang menjadi prioritas Prolegnas 2016. Melihat banyaknya RUU yang harus dipertimbangkan, tentu sangat janggal jika RUU yang membahas pertembakauan “dipaksa” masuk dalam Prolegnas.

Penolakan dari khalayak masyarakat luas serta beberapa instansi pemerintah menyebabkan Presiden Joko Widodo melakukan penolakan terhadap RUU Pertembakauan. Beliau menyampaikan bahwa rokok merupakan menempati peringkat ke-2 konsumsi rumah tangga miskin. Dana yang dikeluarkan oleh rokok, lanjut beliau, lebih besar dari kebutuhan untuk makanan bergizi.

Namun, agenda terakhir saat ini adalah pembahasan RUUP dilakukan oleh 3 menteri yaitu Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri Perindustrian Arilangga Hartanto, dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, bersama-sama dengan para insiator RUUP. Pertemuan ini dilaksanakan berdasarkan Surat Presiden (Supres) Joko Widodo 19 Maret 2017.

Yasonna H Laoly, Menteri Hukum dan HAM, menjelaskan bahwa keputusan Supres yang dilakukan presiden bukan karena perubahan keputusan, namun merupakan langkah prosedural. Supres tersebut dilakukan karena Wakil Ketua Baleg (Badan Legislasi) DPR, Firman Soebagyo, bersikeras untuk mempertahankan RUUP tersebut. Selain itu, Firman mengatakan bahwa secara prosedural, RUU inisiatif tidak dapat ditolak presiden dan hanya dapat dihentikan oleh para perancangnya.

Alasan Pembentukan RUU Pertembakauan

Menghadapi banyak kecaman dari pihak luar, DPR terus memaksakan pengesahan RUU Pertembakauan ini. Beberapa alasan tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah setelah pengiriman Supres presiden terhadap pembahasan RUUP.

"Ini soal kewajiban, karena enggak boleh negara, dalam hal ini pemerintah, tidak memiliki strategi dalam pertembakauan," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/3/2017)

Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Bachrul Chairi, mengatakan industri rokok menyumbang 1,66% total PDB Indonesia. Devisa negara melalui ekspor ke luar negeri mencapai 700US Dollar pada tahun 2013.

"Karena ini bagi kehidupan masyarakat sangat dahsyat, ada efek ekonomi dan kesehatan di dalamnya," lanjut Fahri.

Fahri menambahkan bahwa jika tidak adanya strategi pada pertembakauan dalam bentuk undang-undang, akan terjadi banyak impor gelap tembakau terutama untuk industri rokok asing.

Regulasi usaha tembakau dalam RUUP ini menyebabkan aturan-aturan di dalamnya memiliki sisi bertolak belakang dengan PP No.109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan mengandung zat adiktif berupa produk tembakau.

Namun, menurut DPR sendiri, RUUP ini perlu agar peraturan-peraturan yang ada tidak mematikan petani tembakau, pabrik rokok kretek, namun tetap memperhatikan masalah kesehatan masyarakat.

Alasan lain DPR adalah untuk melindungi petani tembakau lokal di Indonesia. Menurut DPR, banyak petani tembakau mengeluh karena harus bersaing dengan tembakau impor. Murahnya harga tembakau impor menyebabkan para petani harus menjual hasil panen mereka dengan harga yang rendah. Tentu hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan para petani tembakau lokal. Mengontrol impor tembakau akan meningkatkan harga jual tembakau hasil lokal.

Taufiqulhaldi, salah satu inisiator RUUP, menjelaskan bahwa 70% tembakau di Indonesia didatangkan dari luar negeri. Hal ini yang menyebabkan perlunya RUUP yang merepresi angka impor tembakau menjadi 20%.

Selain itu, pihak DPR menolak tuduhan masyarakat bahwa RUU Pertembakauan memiliki kerjasama sehingga menguntungkan para industri rokok di Indonesia. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, GAPPRI, Ismanu Sumiran.

Ismanu mengatakan bahwa RUUP justru menyulitkan industri rokok di Indonesia. Hal itu disampaikan karena terdapat pasal-pasal yang menyulitkan industri rokok.

"Pembatasan (impor) itu tidak terlalu mudah, karena dalam kenyataannya produksi tembakau di dalam negeri masih jauh di bawah kebutuhan pabrikan," ungkap Ismanu.

Selain itu, Ismanu juga menyampaikan bahwa adanya pasal yang meningkatkan cukai jika melakukan impor tembakau. Tentu hal ini secara langsung akan menyulitkan biaya produksi rokok pada industri rokok di Indonesia.

Alasan Penolakan RUU Pertembakauan

Melihat rantaian alasan yang diberikan DPR untuk terus mengupayakan pengesahan RUUP, kita harus mengetahui alasan dibalik penolakan terhadap RUUP ini. Banyak sekali alasan-alasan yang dilontarkan dari pimpinan LSM seperti KRBMKIR (Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok), hingga Komisi Nasional Hukum dan HAM.

Alasan utama penolakan RUUP adalah beberapa bagian dari RUUP bertolak belakang dengan PP No.109 tahun 2012 sehingga menurunkan kontrol pada zat adiktif seperti tembakau ini. Berbagai khalayak masyarakat menentang RUUP ini menurunnya kontrol pada tembakau berisiko memperburuk generasi muda.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengatakan bahwa angka usia pertama kali merokok penduduk kelompok umur 15-19 tahun 33,1 % pada 2007, naik menjadi 43,3 % tahun 2010. Begitu juga kelompok usia 10-14 tahun di periode sama, dari 10,3 % menjadi 17,5 %.

"Industri rokok menjadikan anak muda sebagai target karena ini adalah investasi jangka panjang. Ketika anak muda loyal, sulit untuk berhenti," kata CEO Indonesia Medika Gamal Albinsaid pada Forum Pemuda The 2nd Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2015

Selain faktor utama penolakan tersebut, banyak instansi yang merasa RUUP memiliki celah-celah yang dianggap sebagai perangkap hukum.

Pertama-tama, RUUP dinilai tidak efektif dalam memberikan hasil, namun malah membawa efek negative yang lebih besar. Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo , mengatakan bahwa di Indonesia, hanya terdapat 3 daerah penghasil tembakau. Namun, RUU ini berlaku sebagai generalisasi terhadap seluruh daerah di Indonesia. RUUP mungkin akan membantu petani tembakau setempat. Namun, di tempat lain akan terjadi penurunan kontol terhadap tembakau.

"Indonesia bukan produsen tembakau terbesar di dunia tetapi melakukan upaya melindungi tembakau. Merupakan negara dengan prevalensi lelaki tertinggi di dunia yang merokok tetapi RUU tidak menunjukan upaya pengendalian," rangkum Prijo.

Kedua, tidak ada urgensi untuk melakukan RUUP. Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), Kartono Mohammad menampik pendapat bahwa tujuan RUUP untuk melindungi petani tembakau. Jika ingin membentuk RUU mengenai perkebunan, padi merupakan pilihan yang lebih baik dari tembakau karena padi merupakan makanan pokok. Menurut data dari BBPADI (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi), pangsa padi  terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) mencapai 14,2% di tahun 2006. Hal ini jauh lebih signifikan dari rokok yang hanya 1,66% PDB di Indonesia.

“Mengapa tidak buat RUU Perpadian segala? Kenyataannya kan kita masih impor beras. Padahal petani yang menanam beras lebih banyak daripada yang menanam tembakau,” Kata Kartono

Ketiga, perlindungan petani tembakau dengan RUUP sama sekali tidak efisien. Kartono menyatakan bahwa telah terdapat undang-undang yang mengatur perlindungan terhadap petani tembakau yaitu UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Selain itu, perlindungan petani melalui pengontrolan impor dapat diganti dengan membentuk undang-undang yang mengatur harga tembakau. Dengan meregulasi harga tembakau, tentu petani tidak akan mengalami kesulitan dalam hal harga jual. Selain melindungi petani tembakau, peningkatan harga tembakau juga dapat menurunkan jumlah perokok terutama perokok muda.

Keempat, RUUP diduga merupakan perangkap hukum untuk melindungi industri rokok di Indonesia. Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Raya Indonesia, Herry Chariansyah, mengatakan bahwa klausul dalam RUUP terdapat penjelasan terhadap kewajiban melindungi rokok sebagai budaya dari masyarakat.

Kelima, walaupun DPR sempat menolak tuduhan bahwa RUUP dapat menguntungkan industri rokok, fakta mengatakan bahwa RUUP memang menguntungkan bagi mereka. Menurut Kartono, RUU Pertembakauan melarang penggunaan gambar di kemasan lebih dari 40% total dari kemasan. Hal ini tentu berdampak langsung pada upaya marketing industri rokok. Sehingga, apa yang disampaikan DPR tentu sangat kontradiksi terhadap fakta yang ada di RUUP

Penutup

Melalui penelusuran baik pada Pro maupun kontra dalam Rancangan Undang-Undang Pertembakauan, dapat disimpulkan bahwa tentu RUUP memiliki dampak negative yang lebih banyak daripada dampak positif yang dapat diberikan. Pertanyaan terakhir yang terbesit di pikiran adalah, mengapa DPR tidak melakukan kajian mendalam terhadap industri pangan pokok di Indonesia, yaitu padi, namun malah mendesak pemerintah untuk melakukan pengesahan RUUP yang jelas-jelas menguntungkan industri rokok asing serta merugikan masyarakat secara garis besar?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun