"Kita?" tanyaku dengan bodohnya. "Iya, kita." Elang melepaskan genggaman tangan lalu ikut duduk di ranjang tepat di sebelahku.Â
"Maksudnya?" Aku harus bertanya sejelas mungkin. Ini si Elang bukan mau nembak kan ya.Â
"Ya ngomongin kita. Selama kamu sakit, ada banyak tugas dari dosen. Aku sudah nggak sanggup mengerjakannya sendirian. Kita harus segera membahas permasalahan ini. Gimana menurutmu?"Â
Aku semakin bengong. Sumpah, Elang sangat membingungkan. "Menurutku kita harus ..."
"Harus kencan," sambar Elang.Â
"Hah? Ngomong apa barusan?" Telingaku nggak salah dengar kan.Â
Elang bergerak perlahan-lahan mendekatiku. Aku juga semakin bergeser karena salah tingkah. Apa lagi yang akan dilakukan Elang.Â
Tubuhku sudah tidak bisa bergerak lagi karena sudah menempel pada tembok. Elang menyeringai. Embusan napasnya yang hangat terasa di telinga. Aku memejamkan mata.Â
"Menurutku kita harus kencan. Seperti sepasang kekasih. Apa kamu setuju?" bisiknya lembut.Â
Mataku langsung terbuka lebar, aku menoleh dengan cepat tanpa menyadari kalau posisi wajah kami sangat dekat.Â
"Mungkin ini bisa membantu untuk menjawab pertanyaanku dengan cepat." Bibir Elang sudah lekat dengan bibirku. Kejadian ini hanya berlangsung selama sepuluh detik tapi efeknya begitu luar biasa.Â