Aku mengerjap-ngerjap sedangkan Elang langsung mundur dan duduk di sofa. Tangan kanan menyentuh bibir, dia bahkan menggigit bibir bawah sambil tersenyum sekilas.Â
"Gimana? Mau jadi pacarku?" tanya Elang setelah bisa menguasai diri dan bersikap biasa lagi. Aku refleks mengangguk.Â
"Jangan termakan omongannya Jesi. Satu-satunya yang kucintai saat ini hanyalah kamu. Aku nggak bakal ninggalin kamu demi dia," ujar Elang yang makin membuat wajahku memanas.Â
"Sepertinya dia niat banget bikin kamu balikan lagi."Â
"Nggak usah dipikirkan. Dia tidak pernah serius denganku," hibur Elang.Â
"Itu berarti kamu serius dengan Jesi? Kamu masih mencintainya?" tanyaku hati-hati. Ini topik yang sangat sensitif. Sebenarnya aku tidak ingin ini jadi pertengkaran pertama setelah jadian tapi aku harus tahu kebenarannya.Â
"Nggak, aku cuma cinta sama kamu. Sejak dulu sampai sekarang perasaanku masih tetap sama."Â
"Lalu, bagaimana kalian bisa jadian?"
Elang menatapku lama. "Belum saatnya kamu tahu."Â
Elang mengeluarkan buku catatan dari dalam tas. "Jangan bahas tentang Jesi lagi. Kita mulai mengerjakan tugas."Â
Aku menyibak selimut, kaki kiri sudah menyentuh lantai. Elang mendongak lalu berteriak, "Stop! Kamu di situ saja."Â