Pipit geleng-geleng ketika Wening menyempurnakan penampilannya dengan menyemprotkan parfum beraroma melati kesukaannya.
Mereka berdua sekarang sudah sampai di depan rumah makan Kampung Sawah. Suara dering ponsel Pipit terdengar. Wajah Pipit bersinar, ini dari Bangun.Â
"Halo, kamu sudah di dalam? Aku juga sudah sampai di depan."Â
Wening menggandeng lengan Pipit. "Aku kok jadi deg-degan ya."Â
"Yang harusnya deg-degan kan aku. Kok malah kamu," ujar Pipit.Â
Dari kejauhan terlihat Bangun sedang duduk menghadap kolam ikan. Tempat favorit mereka terletak di pojok, agak jauh dari gubuk yang lain. Kampung Sawah sengaja menciptakan suasana makan seperti di tengah sawah, dengan beberapa kolam dan juga taman mengelilingi gubuk kecil beratapkan daun kelapa atau jerami kering yang dipakai untuk tempat makan.Â
Bangun menoleh dan melihat Pipit, melambaikan tangan dengan semangat. Namun perlahan-lahan tangannya turun. Dia bergegas turun dari gabuk dan memakai sandalnya. Setengah berlari menghampiri Pipit dan menariknya menuju pintu keluar.Â
Wening yang memakai sepatu berhak lancip tertinggal di belakang karena tidak bisa berlari. Lantai Kampung Sawah terdiri dari batu dan tanah jadi hak sepatu beberapa kali tertancap antara batu dan tanah.Â
"Ayo, lebih cepat," pinta Bangun.Â
"Kenapa kita harus berlari. Itu temanku tertinggal." Pipit menoleh ke belakang, merasa kasihan dengan Wening yang berusaha mengejar.Â
"Sudah, masuk mobil saja." Bangun membuka pintu mobil, mendorong Pipit agar segera masuk. Setelah itu dia sendiri masuk ke dalam mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi.