Pixabay.comÂ
"Rasanya pengen jitak Hera deh. Gemes banget. Dia tahu kalau kamu takut nyebrang sendiri. Eh, malah ditinggalin. Udah gitu pake bohong bilang jalan sama aku." Rindu memukul-mukul tangannya ke meja.
"Sudah, Rin. Yang penting aku bisa nyebrang dengan selamat," ujarku untuk menenangkan.
"Gimana ceritanya kamu bisa nyebrang? Nggak karena digotong ramai-ramai karena pingsan kan? Aku ingat pas telat nemuin kamu waktu itu. Kamu gemetaran sambil nangis di tengah perempatan sampai-sampai supir-supir kompakan ngeluarin sumpah serapah dan membunyikan klakson keras-keras." Rindu bergidik ngeri mengingat hari naas itu.
Pipiku memerah membuat Rindu menggangkat alis. "Jangan bilang kalau ada cowok tampan yang membantumu?"
Pikiranku mengembara di sore kemarin.Â
Mataku melotot tak percaya saat kurasakan gengaman. Aku memandang kedua tangan yang saling bertautan. Jalanan seolah menghilang karena aku mendapati Elang tersenyum saat mengangkat tangan kami. Dia menuntunku melewati perempatan yang ramai, ketakutanku hilang seketika. Bagiku ini seperti berjalan berduaan di tengah taman yang penuh bunga warna-warni. Ah, indahnya.
Dunia kembali seperti semula saat suara klakson menyadarkanku dari lamunan. Elang memang memegang tanganku tapi dia tidak tersenyum, wajahnya datar. Dia menarikku agar berjalan lebih cepat. Elang melepaskan tangan sebelum menunduk agar bisa masuk dalam angkot. Aku juga ikut masuk agar tidak kemalaman sampai rumah. Sepanjang jalan Elang hanya diam sambil memandang pemandangan diluar angkot.
"Ya ampun, Lok. Elang sweet banget ya sampai mau nolong kamu. Udah deh, Lok. Jangan kelamaan memendam rasa. Ntar doi balikan ma Jesi kamu nangis bombai." Rindu histeris berlebihan setelah mendengar cerita lengkapnya.Â
Perkataan Rindu membuatku berpikir. Pantaskah berjuang buat Elang. Sainganku sekelas Jesi.
"Aku pengen jadi pacar Elang tapi malu-maluin nggak ya, kalau aku yang pedekate?"
"Semangat dong. Aku dukung kamu." Rindu meremas tanganku.
"Ini sotonya, Mbak." Suara dari ibu penjual membuat senyum kami merekah. Kami sudah sangat kelaparan.
Tanganku mencoba menggapai tempat sambal yang letaknya agak jauh ke sisi satunya, ternyata tidak sampai. Aku nyaris menggeser tempat duduk saat ada yang meraih tempat sambal dan menaruh tepat di samping mangkuk sotoku.
"Terima ka ... sih," kataku tergagap karena saat aku menoleh ada Elang di sana.
"Su ... sudah dari tadi, Lang?" Aku yakin wajahku sudah pucat pasi, begitu pula dengan Rindu.
"Nggak, baru saja duduk."
Jawaban Elang membuatku lega. Semoga saja dia tidak mendengar apa-apa. Bisa malu banget nih.
Elang mengambilkan lepek yang berisi jeruk nipis sekaligus piring sate. Tumben banget Elang baik gini.
"Kalian nggak lagi pura-pura mesra supaya aku cemburu kan?" tanya Fahmi sambil memainkan alis. Tanpa ijin dia duduk di seberang Elang.
"Kamu cemburu denganku? Kamu naksir Elang?" Aku menutup kedua mulut dengan telapak tangan, pura-pura terkejut.
"Kamu gay? Sungguh tak kusangka," lanjutku dengan gerakan mendramatisir yang lebay.
"Jangan kebanyakan baca Trapped by Love nya Chriztpie. Otakmu jadi aneh gini. Nggak semua cowok ganteng itu gay. Kalau aku jelas masih normal." Elang mengetok dahiku dengan sendok yang masih bersih.
"Kok kamu tau aku suka baca TBL?" Aku memutar tubuh menghadap Elang. Jantungku berdebar, berharap kalau dia memang seperhatian itu denganku. Ini tanda-tanda kalau dia suka sama aku kan.Â
"Fahmi yang cerita." Elang menggerakkan dagu menunjuk Fahmi.
Mataku dengan cepat beralih memandang Fahmi. Fahmi garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum nggak jelas.
"Aku sering lihat kamu share adegan di TBL. Iseng-iseng ikut baca biar ada bahan obrolan sama kamu."
Aku kecewa sodara-sodara. Kirain Elang beneran seniat itu buat deketin aku sampai cari info sana sini. Ternyata aku yang kegeeran.
"Lang, kamu kok makan di sini sih? Aku nyariin kamu ke kantin." Jesi menarik salah satu kursi dan bergabung di meja kami. Dia duduk mepet Elang.
"Memangnya kenapa kalau makan di sini?"
"Kan nggak higienis," ucap Jesi sambil matanya melirik ke sana kemari nyari memastikan meja bersih.
Soto pesanan Elang dan Fahmi datang. Elang tanpa basa-basi memakannya. Jesi memperhatikan dengan penasaran.
"Enak ya? Mau incip juga dong," katanya dengan manja.
Jesi sudah membuka mulut minta disuapi tapi Elang masih menyendok untuk dirinya sendiri membuatku menahan tawa agar nasi yang ada di mulut tidak menyembur.
"Uhuk ... uhuk." Mataku memerah, akhirnya tersedak juga setelah perjuangan menahan tawa.
Elang menyodorkan gelas es teh padaku. Langsung saja kusambar dan menyedot es teh sebanyak-banyaknya. Merasakan tangan Elang menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, Tuhan cobaan apa lagi ini. Elang bikin terharu.
Jesi yang terbakar cemburu mengambil sendok dan memakan soto Elang. "Enak juga, Lang. Kita makan berdua ya. Sini aku suapi."
Jesi menyodorkan sendok yang berisi nasi serta kuah soto pada Elang tapi dengan santainya Elang malah menarik tanganku yang hendak menyuap nasi ke mulutku. Sendok itu mendarat mulus di dalam mulut Elang. Mulutku yang sudah terbuka malah makin terbuka lebar. Kesempatan itu dipakai Elang buat menyuapkan nasi ke mulutku. Dia lalu memegang daguku dan mengatupkan mulutku.
Aku baper beneran. Nggak apa-apa kalau aku dimanfaatin buat bikin Jesi cemburu. Yang jelas aku bahagia banget. Perlakuan Elang serasa seperi kami ini sedang pacaran.
Rindu dan Fahmi memandang kami tanpa berkedip. Kepala mereka mengikuti gerakan sendok yang dipegang Elang. Namun Elang masih melanjutkan aksinya hingga nasi soto yang ada di mangkokku habis.
"Buruan. Kita tugas persiapan." Elang berdiri dan melangkah buat membayar semua soto kami.
Langkahnya yang lebar membuatku setengah berlari mengejarnya. Aku sudah tidak memperdulikan Jesi yang menatap kami dengan pandangan marah.
Napasku masih belum teratur karena naik tangga dengan cepat agar tidak terlambat. Sempat memberi salam pada asisten dosen sebelum dia menyerahkan nampan berisi reagen golongan darah. Aku balik badan dan menekuk bibir. Aku sudah tahu kalau materi praktek hari ini adalah golongan darah tapi masih terasa berat untuk menjalani hari ini.
Sudah hari ketiga menjadi partner Elang tapi perasaan gugup masih terus ada apa lagi saat aku harus memegang tangannya seperti ini.Â
Pengambilan darah kali ini di jari karena menggunakan darah kapiler, bukan darah vena. Jari telunjuk dan ibu jariku mengurut jari manis milik Elang sementara tangan kananku memegang lancet.Â
"Tusuk saja! Jangan lama-lama melamun!" Suara Elang yang sedikit keras membuatku terkejut. Tanganku refleks bergerak menusukkan lancet ke ujung jari Elang.
"Pelan napa? Sakit!" Elang meringis menahan sakit.
"Maaa ... maaf. Kamu ngagetin sih." Aku memijat lembut jari Elang untuk mengeluarkan darah, aku tidak mau dibentak gara-gara terlalu kasar. Pasti tadi terlalu dalam yang nusuk.Â
Kubalik telapak tangan Elang hingga darah mengarah ke bawah. Darah itu menetes pada kertas golongan darah. Aku menutup luka Elang dengan kapas bersih. Elang menekan ujung jari tengah dengan ibu jari agar perdarahan berhenti.
Reagen golongan darah diteteskan sesuai kolom. Baru kali ini aku mengecek golongan darah Elang tapi sudah tahu hasil akhirnya. Aku mencampur darah dengan reagen. Kolom A dan B ada aglutinasi, itu berarti golongan darah Elang adalah AB.
Sekarang gantian Elang yang mengambil sampelku. Aku tidak memperhatikan tindakan Elang. Mataku terpaku pada ekspresi wajah Elang yang mengeras. Aku tahu benar apa yang ada di pikirannya.
Kami sudah menyelesaikan praktek dan tinggal menunggu buku praktek dikembalikan. Kembali kuperhatikan Elang. Dia mengepalkan tangan dengan keras. Kuberanikan diri untuk menggengam tangannya. Kepalan tangannya perlahan mengendur.
"Aku tidak butuh dikasihani," ujar Elang sambil menarik tangannya.
Aku tersenyum lemah. "Aku tahu. Aku hanya ingin menggegam tanganmu saja."
Nggak kebayang betapa merah mukaku saat Elang memandangku dengan tatapan bingung. Berasa banget kalau aku baru modusin dia padahal niatku itu murni untuk menghiburnya.
Praktek hari ini usai sudah. Aku dan Elang membersihkan ruang praktek dan mengembalikan reagen ke tempat semula. Elang meninggalkanku begitu saja saat aku mengembalikan kunci kulkas reagen pada penjaga Lab.
Aku menuruni tangga dengan langkah gontai. Kelompok lain belum selesai praktek. Hera sudah pulang duluan, Elang juga. Bagaimana caraku pulang. Aku masih belum berani menyeberang perempatan sendiri. Kemarin ada Elang tapi hari ini aku lihat dia bawa motor.
Aku menyaris teriak saat merasakan ada yang memeluk dari belakang. Wangi yang sangat familiar membuatku mengurungkan niat.Â
"Lang, lepas. Nggak enak kalau ada yang lihat. Besok Jesi bisa nyakar-nyakar aku." Kucoba melepas tangan Elang yang melingkar di perut.
"Golongan darahku AB. Kami beda golongan. Aku bukan anak Ayah." Suara Elang membuatku hampir menitikkan air mata.
Aku tahu itu, Lang. Aku tahu bagaimana terpukulnya kamu saat pertama kali mengetahui hal ini. Kubiarkan saja Elang memelukku untuk sejenak.Â
Note :
Aglutinasi :
1. Bio = penggumpalan butir-butir darah merah, bakteri, tepung sari, dan(atau) spermatozoa yang disebabkan oleh penambahan aglutinin dari bahan yang bersangkutan.
2. Kim = penyatuan sel atau bakteri akibat interaksi bakteri dan serum kekebalan yang bersangkutan.
3. Ling =Â
a. Pengimbuhan pada akar kata yang mengakibatkan perubahan makna atau pemakaian.
b. Peleburan bunyi bahasa yang berdampingan.
Reagen : bahan yang dipakai dalam reaksi kimia, biasa dipakai untuk mengetes darah.
Lancet atau blood lancet :Â
Diterjemahkan dari bahasa Inggris-Sebuah lancet darah, atau hanya lancet, adalah alat medis kecil yang digunakan untuk pengambilan sampel darah kapiler. Sebuah lancet darah mirip dengan pisau bedah kecil tetapi dengan pisau atau jarum bermata dua. Lancets digunakan untuk membuat tusukan, seperti fingerstick, untuk mendapatkan spesimen darah kecil. (Wikipedia Inggris)Â
Ada yang bisa nebak golongan darah ayah dan ibu Elang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H