Mohon tunggu...
Christina Putri Aroma Ndraha
Christina Putri Aroma Ndraha Mohon Tunggu... Lainnya - Long life learner and dreamer

an Undergraduate Law Student who has interest in writing, social movement, law issues, and education.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menjadi Bagian dari Ormek: "Jangan Lupa Jadi Manusia Merdeka"

15 April 2021   13:50 Diperbarui: 15 April 2021   14:33 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Layaknya berbagai emosi yang muncul saat sedang menonton serial Netflix favorit. Mungkin begitulah kompleksitas yang tergambar di tengah dinamika mahasiswa Indonesia akhir- akhir ini. Berdasarkan fakta yang terjadi, adanya konflik internal pada aliansi BEM Seluruh Indonesia inilah yang menjadi penyebabnya.

Secara historis, BEM SI lahir karena kesadaran bahwa gerakan mahasiswa pasca ’98 mengalami dis-orientasi dan berjalan sendiri-sendiri. Sedangkan, perjuangan mahasiswa harus mempunyai arah gerak yang sama dan sebagaimana dapat dipelajari dari sejarah TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) dan Reformasi ’98 yang berhasil menggulingkan Rezim Soeharto. BEM SI yang seharusnya mampu bersatu untuk menjadi garda terdepan dalam pengawalan isu- isu nasional, kini justru seakan hilang arah dan terpecah belah. Terlebih dengan adanya konflik internal pada Munas XIV BEM SI belakangan ini.

Seperti yang dilansir oleh media, aliansi tersebut baru saja mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) XIV Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang menghasilkan pemimpin baru BEM SI dan ditolak oleh 132 BEM dari total 168 BEM perguruan tinggi. Bahkan ke- 132 BEM tersebut sampai walk out (WO) dari forum. Sedangkan terdapat 36 BEM universitas lainnya- yang kabarnya merupakan kader dari suatu organisasi ekstra seragam, dimana mereka tetap bertahan hingga menghasilkan sebuah kesepakatan yang mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia. Kemudian 132 sisanya mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kesepakatan tersebut dan kini membentuk sebuah forum baru.

Jika sudah begini, wajar jika makin banyak mahasiswa yang skeptis terhadap BEM dan aliansi tersebut. Dan istilah yang mengatakan bahwa BEM adalah “wakil mahasiswa” harus kembali dipertanyakan. Sebenarnya, mahasiswa yang mana yang diwakilkan?.

Adanya huru-hara tersebut mendorong saya untuk menilik lebih dalam dan sedikit menarik garis ke belakang untuk mencari tahu akar permasalahan yang lagi- lagi, menurut saya tidak lepas dari perpolitikan kampus — yang seringkali hanya merupakan perpanjangan tangan organisasi ekstra kampus tertentu.

Alangkah lebih baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu sebenarnya apa yang dimaksud dengan politik kampus itu?

Pada dasarnya politik kampus adalah manifestasi dari gerakan mahasiswa. Berwujud pemerintahan mahasiswa. Kampus sebagai tempat lahirnya generasi intelektual masa depan, berpengaruh besar terhadap pembangunan manusia yang berkualitas dan kompeten dibidangnya. Selain itu, kampus juga merupakan tempat pertaruhan ideologi dan kaderisasi, sehingga adanya gerak politik di kampus adalah sebuah keniscayaan. Karena hal ini berkenaan dengan ideologisasi dan pendidikan politik.

Politik kampus kerap disalahpahami sebagai wujud dari politisasi kampus (politik praktis), padahal dalam realitasnya politik kampus adalah lawan sekaligus oposisi dari politik praktis. Tak jarang kesalahpahaman ini berdampak kultural bagi sebagian besar mahasiswa dalam memandang politik kampus. Hingga akhirnya ada pihak yang dinilai sebagai kelompok pragmatis yang bergerak hanya untuk mendapatkan posisi-posisi strategis tertentu dilingkungan kampus. Di lain pihak, kelompok “pencela” disebut apatis-apolitis. Pada akhirnya tidak ada titik temu sinergi antar keduanya.

Mengutip ungkapan Anis Matta, dimana kampus adalah ruang industri pemikiran, sekaligus tempat yang paling teruji untuk mengukur kompetensi politik, maka tidak heran, jika terjadi pertaruhan ideologi dan usaha hegemonik — meminjam istilah Gramsci — sebagai upaya untuk memperebutkan pengaruh politik sekaligus pembentuk stereotype gerakan mahasiswa yang diinginkan oleh kelompok tertentu.

Ketika mencoba memakai kacamata “mereka”, yakni organisasi ekstra mahasiswa atau akrab disebut ormek, dimana mereka memaknai politik kampus sebagai salah satu entitas yang mesti diperjuangkan. Tentunya, tidak melulu soal sarat kepentingan belaka, melainkan sebagai usaha untuk menghidupkan kultur gerakan mahasiswa dan membangun kesadaran atas kondisi yang melanda negeri ini.

Perlu juga dipahami bahwa ketika menduduki posisi presiden atau posisi lainnya di organisasi kampus dengan struktur-struktur didalamnya misalnya, secara tidak langsung turut membantu usaha perbaikan masyarakat kampus agar lebih respon dan mampu bergerak dalam memberikan solusi. Di waktu yang sama juga membelajarkan hakikat berpolitik bagi mahasiswa, baik tentang kepemimpinan, keorganisasian, strategi dan taktik, hingga kebijakan kampus.

Namun, realita saat ini justru bertentangan dengan harapan serta nilai yang utuh dari politik kampus beserta subjek yang ada di dalamnya, sebagaimana yang sudah dibahas diatas. Tak jarang beberapa ormek yang ada menciptakan kelompok semu. Kelompok semu tersebut merupakan kelompok yang dibentuk yang sesuai dengan aturan yang ada dalam internal kampus dan bertujuan sebagai perpanjangan tangan dari beberapa Ormek di dalam kampus.

Lalu, sebenarnya apa yang menjadi tujuan ‘beberapa’ Ormek sehingga mereka harus masuk ke dalam ranah internal politik kampus?

Pertama, untuk membangun eksistensinya di ranah mahasiswa sehingga dapat memperluas ideologi dan cara pandang. Kedua, memperoleh otoritas dengan menempatkan para kader pada posisi elite mahasiswa. Sebab posisi elite mahasiswa menjadi salah satu nilai tawar tersendiri ketika melakukan komunikasi dengan jajaran birokrasi maupun pemerintah. Posisi elite mahasiswa juga memiliki peran untuk melakukan mobilisasi massa, sehingga dengan begitu ormek tertentu dapat semakin memperlebar sayapnya dan memiliki kesempatan menjadi dalang dalam beberapa pergerakan mahasiswa. (Jurnal unesa. 2015: mahasiswa dan kekuasaan)

Dahrendorf dalam bukunya “Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri” mengatakan bahwa didalam tatanan masyarakat terjadi sebuah konflik yang dimana menyebabkan munculnya kelompok-kelompok didalam masyarakat. kelompok-kelompok masyarakat tersebut dibagi menjadi dua yakni kelompok kepentingan dan kelompok semu. (Dahrendorf. 1986 : 221)

Didalam fenomena ini kita dapat memposisikan Ormek sebagai kelompok kepentingan. Sebab jelas Ormek memiliki beberapa indikator untuk diposisikan sebagai kelompok kepentingan. Diantaranya Ormek memiliki struktur, bentuk organisasi, program atau tujuan dan anggota dari organisasi tersebut. Kemudian asosiasi yang ada didalam kampus merupakan kelompok semu sebab didalam asosiasi tersebut memiliki kepentingan tersembunyi. Kepentingan tersembunyi diartikulasikan menjadi kepentingan nyata. Kelompok semu menjadi tempat merekrut anggota kelompok kepentingan yang terorganisir secara jelas.

Dalam hal ini otoritas sebagai ketua atau presiden BEM terpilih yang diperebutkan pada saar pemilihan umum mahasiswa dapat dikatakan sebagai kunci konflik dalam kontestasi politik kampus. Otoritas yang melekat pada posisi tersebutlah yang menjadi kunci dari analisis Dahrendorf. Sebab otoritas selalu diartikan sebagai subordinasi atau superordinasi. Sesuai dengan pembagian peranya, bagi individu atau kelompok yang bertada di wilayah superordinat maka dialah yang berkuasa dan mendominasi atas individu maupun kelompok yang berada di wilayah subordinat. Kelompok yang menempati posisi otoritas tertentu dan kelompok subordinat yang juga memiliki kepentingan tertentu ketika arah dan substansinya saling bertentangan maka konflik tersebut akan terjadi. Dan inilah kunci dari sebuah teori konflik yakni “kepentingan” (Ritzer dan Goodman. 2011 : 15)

Ketika kader tertentu dari suatu Ormek sudah menduduki posisi strategis, disinilah independensi dari presiden atau ketua terpilih harus dipertanyakan. Saya rasa sudah cukup jelas jika suatu Ormek punya berbagai kepentingan, walaupun hal tersebut tidak melulu merujuk pada konotasi negatif. Masih ada ideologi dan cara pandang yang rasional, tidak radikal dan relevan yang ditawarkan oleh beberapa organisasi ekstra kampus.

Namun, tetap saja perlu disampaikan bahwa, organisasi ekstra kampus yang notabene menghegemoni politik kampus seharusnya dapat mengesampingkan kepentingannya ketika kadernya berhasil memegang kekuasaan tertinggi di suatu universitas. Poinnya adalah, hal tersebut menimbulkan kurang adanya independensi dalam menentukan sikap di beberapa kampus yang perpolitikannya dihegemoni oleh suatu organisasi.

Akhirnya mereka cenderung fokus pada instruksi dan pedoman-pedoman organisasi yang menaikkan mereka dari pada permasalahan nyata yang terjadi pada masyarakat dan mahasiswa.

Di sisi lain ketika kita sudah menyadari bahwa setiap kelompok ormek pasti memiliki kepentingan, maka pertanyaan yang ada juga ditujukkan kepada setiap pribadi mahasiswa yang menduduki posisi strategis, tetapi justru rela direnggut independensinya. Tidak masalah menjadi bagian dari suatu Ormek, tetapi jangan sampai kehilangan kemerdekaan dalam menentukan sikap dan berpikir. Bukankah, setiap kita ingin menjadi manusia merdeka?

Namun perlu diingat pula bahwa dengan menjadi apolitis, apatis dan golput tidak akan memperbaiki keadaan. Banyak hal yang bisa kita lakukan, misalnya dengan menahan yang paling buruk untuk naik ke atas, dibarengi dengan membangun jaringan politik alternatif atau dengan memaksimalkan fungsi pengawasan kedepannya.

Sebab jika hal ini terus dibiarkan, Indonesia akan miskin jiwa yang kritis dan tulus untuk membangun bangsa ini kedepannya. Politik dan organisasi kampus akan kehilangan nilai dan marwahnya, sehingga hanya akan menjadi ajang berebut kekuasaan belaka.

Tanpa ada maksud untuk menggurui, sudah sepatutnya kita sebagai mahasiswa dapat berdiri sendiri dengan tidak mengutamakan kepentingan golongan tertentu dalam memegang amanah ataupun suatu posisi di kampus.

Walaupun saya menyadari bahwa tulisan ini terkesan naif dan bahkan mungkin utopis untuk diwujudkan, tetapi saya masih memiliki keyakinan bahwa marwah politik dan organisasi kampus yang sesungguhnya dapat dikembalikan, ketika kita memandang politik bukan lagi sebagai ajang transaksional semata dan saling berebut kekuasaan oleh kelompok tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun