Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cahaya Kasih Tanpa Batas

20 November 2020   12:13 Diperbarui: 20 November 2020   12:15 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, saya merasakan waktu seolah berjalan mundur, tepatnya saat saya menyaksikan bunga cempaka hawai di halaman rumah saya jatuh ke tanah. Kilau cahaya dari air yang menempel di kelopaknya tak sengaja tertangkap oleh mata saya pagi ini, dan langsung membangkitkan ingatan saya akan cahaya yang selalu mengiringi langkah saya melintasi waktu. Cahaya itu berasal dari Ibu saya, yang ternyata sangat membantu saya melewati hari yang terasa berjalan melambat ini.

Perlahan-lahan, ingatan saya saat menempelkan telinga ke perut Ibu saya semasa kecil tampak begitu jelas, membantu membangkitkan gairah, dan membuat saya tersenyum kembali menjalani hidup hari ini, bersama aroma manis yang menguar dari bunga cempaka hawai yang saya pungut dari tanah pagi ini.

Momen ketika Ibu saya berbaring di atas kasur usai melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan pekerjaan kerumahtanggaan lainnya memang tidak pernah bisa lepas dari ingatan saya. Dan saya pun selalu tak mau melewatkan momen untuk menempelkan telinga ke perut Ibu saya, yang sedang terbaring di atas kasur waktu itu.

Kata Ibu saya, beginilah nikmatnya hidup, di antara kesibukan yang terkadang melelahkan, kita harus sempat meluangkan waktu untuk beristirahat seperti berbaring sambil membaca majalah. Saya masih bisa merasakan begitu nikmatnya menempelkan telinga saya di perut Ibu saya, meski kenangan itu sudah 35 tahun berlalu, mungkin karena itu adalah saat-saat terbaik dalam hidup saya. Waktu itu, saya tersenyum dengan mata terpejam, mendengarkan suara-suara dari perut Ibu saya. “Ibu tidak lapar, kan?” tanya saya menggoda.

Tentu saja Ibu saya tahu kalau pertanyaan saya itu tidak memerlukan jawaban, tapi Ibu saya tetap saja memberikan penjelasan bahwa suara-suara itu berasal dari gerakan organ-organ di dalam perut, dan itu hidup. Selalu saja saya tak pernah bisa menyangkal dengan jawaban Ibu saya, membuat saya menjadi berimajinasi tentang kehidupan yang ada di dalam tubuh manusia, yang kemudian menimbulkan satu pertanyaan ke pertanyaan berikutnya.

Semasa kecil, saya memang selalu bertanya tentang apa saja yang saya pikirkan, dan Ibu saya selalu saja bisa menjawabnya. Saya merasa beruntung dengan keberadaan Ibu saya sebagai Ibu yang selalu ada untuk anak-anaknya, selalu memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk saya bertanya dan mendapatkan jawaban yang ajaib serta mengagumkan kapan pun pertanyaan itu terlintas.

Ibu saya tidak bekerja bukan karena kami keluarga yang mapan secara ekonomi. Bapak saya memang telah bekerja keras di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, namun tetap saja tidak mendapatkan penghasilan yang cukup untuk menutupi kebutuhan seluruh keluarga besar kami. Tapi keputusannya agar Ibu tidak bekerja, mendidik dan merawat anak-anaknya sendiri sangatlah tepat meski penuh lika-liku.

Saya anak bungsu dari enam bersaudara yang harus selalu berbagi. Ada masa tak ada sepiring nasi untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Adakalanya kami hanya sarapan ubi, singkong atau pisang bakar, tanaman yang tumbuh di kebun belakang rumah. Sepulang sekolah kami baru makan nasi, itu pun setelah Ibu mengusahakan bisa menanak nasi dengan utang beras ke toko kelontong terdekat. Uang saku untuk jajan di sekolah pun belum tentu ada setiap hari.

Mungkin saya terlambat menyadari, ternyata pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan kepada Ibu saya selalu saja tentang kehidupan. Sampai saya dewasa pun saya tak pernah bertanya tentang pelajaran sekolah, tapi malah bertanya tentang pengalaman-pengalaman Ibu saya semasa beliau bersekolah, seperti perjuangannya berjalan kaki menuju stasiun kereta api untuk pergi ke sekolah, menembus kabut pagi yang turun dari Gunung Kawi.

Saya sangat bersyukur karena Ibu saya tak pernah menuntut nilai tinggi untuk sekolah anak-anaknya. Baginya, yang penting anak-anaknya bersekolah, mendapatkan peringkat satu, dua, tiga atau tidak mendapatkan peringkat pun tak menjadi masalah. Dan itu membuat saya merasa merdeka mendapatkan nilai yang biasa-biasa saja, hingga sekolah sama sekali tidak menjadi beban dalam  hidup saya. Maka, saya tak perlu berpikir panjang untuk menyatakan kepada dunia, bahwa sejatinya Ibu, Sekolah Pertamaku.

Masih segar dalam ingatan saat sang waktu tiba-tiba diam tak bergerak, waktu itu saya merasa takut dan khawatir dengan apa yang akan terjadi, meski itu hanya sementara karena keyakinan saya lebih kuat dibandingkan kekhawatiran saya. Dan benar saja, ketika waktu diam tak bergerak, di situlah kebosanan melanda saya, yang waktu itu masih kanak-kanak.

Saat itu, Ibu saya tak segan-segan menyarankan kepada saya untuk mulai belajar berpuasa dan berdoa kepada Tuhan dalam keadaan seperti itu. Tidak dibelikan  jajanan seperti kacang atom kesukaan saya, atau kelapa muda minuman favorit saya untuk mengatasi kebosanan saya. Saya memang selalu yakin bahwa Ibu saya adalah cahaya di rumah kami, yang akan selalu menerangi jalan saya, di mana pun saya berada dan dalam keadaan apa pun.

Kejenuhan memang tenyata harus dihadapi dan diterima dengan ikhlas. Kebosanan bisa melanda siapa saja, baik itu anak-anak maupun orang dewasa. Dan benar saja, suatu malam saya pernah mendapati Ibu saya menangis dalam doanya. Waktu itu, saya mengintip dari balik selimut sambil berpura-pura tertidur pulas. Saya berpikir mungkin Ibu saya sedang merasakan kebosanan seperti yang pernah saya rasakan. Berserah diri kepadaNya, ternyata memanglah obat yang mujarab, dan itu adalah resep dari Ibu saya.

Barang kesukaan, makanan dan minuman favorit, atau kesibukan apa pun, saya kira memang hanya bersifat sementara. Dan saat waktu seolah tak bergeming dari tempatnya seperti pandemi sekarang ini, rasanya resep Ibu saya itu sangat berguna bagi saya untuk mengatasi kebosanan yang dialami anak-anak saya, ketika ruang beraktivitasnya mendapatkan batasan.

Menjadi ibu rumah tangga adalah teladan yang tepat bagi saya, tepatnya menurut perspektif saya. Teladan itu diberikan turun-temurun dari Nenek saya ke Ibu saya, dan akhirnya jatuh ke saya, yang tanpa saya sadari ternyata juga saya turunkan kepada anak-anak saya.

Seperti Ibu saya, kini saya pun memerdekakan anak-anak saya mempelajari apa saja yang mereka sukai, dan ternyata itu malah membuat mereka lebih maksimal dengan apa yang mereka pelajari, yang tentu saja akan sangat berguna saat mereka nanti berada di posisi sebagai orang tua dan menjadi pendidik yang utama bagi anak-anaknya.

Pagi ini, aroma manis bunga cempaka hawai masih memabukkan saya dengan kenangan indah saat saya masih kecil, ketika saya menempelkan telinga ke perut Ibu saya, yang sekarang juga dilakukan anak-anak saya kepada saya. Saya pun tersenyum, saya seperti merasakan apa yang Ibu saya rasakan  ketika saya menempelkan telinga saya di perutnya waktu itu.

Kini saya merasakan gairah hidup saya telah bangkit kembali dengan terang cahaya dari Ibu saya, dan waktu pun seolah kembali bergerak maju, melesat dengan cepat bagai anak panah lepas dari busurnya. 

Saat ini, saya telah berada di posisi seperti Ibu saya ketika memiliki anak remaja sekaligus anak-anak yang masih kecil. Ibu saya tak pernah mengajarkan bagaimana caranya bertahan hidup waktu itu. Ia hanya membiarkan anak-anaknya memotret sendiri perjalanan hidupnya, sebagai cahaya di dalam rumahnya.

Beliau selalu mengasihi apa yang ada di hadapannya dengan caranya. Kadang dengan kelembutan, ketegasan dan juga kemarahan. Ibu saya telah membuat rumahnya sebagai tumpahan rasa. Anak-anaknya bebas bicara apa saja, bercanda dan juga bertengkar. Tapi ia tetap menunjukkan sudut ruang tersembunyi, yang di sana ada cahaya kasih tanpa batas.

Waktu pun akhirnya mendewasakan saya. Saya merasa tak enak hati dengan perilaku saya yang kadang kasar kepada Ibu saya. Kemerdekaan berbicara itu ternyata malah membuat saya kesulitan untuk menyampaikan maaf atas ketidakpatutan perilaku saya di masa lalu. Tapi akhirnya keberanian itu datang juga, ketika rasa bersalah memenuhi seluruh ruang di hati saya.

“Ibu, maafkan semua perkataan dan perilaku kasar saya selama selama ini. Mulai dari anak-anak hingga saat ini.”

“Semua anak-anak Ibu, pernah berkata  dan berperilaku kasar. Jadi, tidak apa-apa.” balas Ibu saya datar waktu itu, namun tetap menyiratkan makna yang dalam dan baru saya sadari, semua anak-anaknya ternyata memang dibebaskannya meluapkan kemarahan kepadanya, sosok yang sudah pasti akan selalu memaafkan.

Ya, Tuhan. Ini benar-benar pelajaran yang tidak saya dapatkan di sekolah formal. Sekarang saya mengerti kenapa Ibu saya tak mementingkan nilai akademis, tapi lebih memprioritaskan kebahagiaan anak-anaknya dalam menjalani proses belajar di mana pun itu. Di rumah, di sekolah ataupun di lingkungan masyarakat.

Saya hampir tak kuasa membayangkan bila cahaya itu padam saat waktu membawanya berada di usia senja. Saat kulit tangannya telah keriput dan semua rambutnya telah memutih. Waktu bisa saja tak bergeming dari tempatnya. Bukan lagi kebosanan yang akan melanda rasa dalam jiwa, tapi bisa saja akan merenggut cahaya itu sendiri.

Tiba-tiba saja waktu seolah berhenti, tepat saat saya menyaksikan bunga cempaka hawai di halaman rumah saya yang kedua jatuh ke tanah. Kilau cahaya dari air yang menempel di kelopaknya tak sengaja tertangkap oleh mata saya, dan langsung membangkitkan ingatan saya akan cahaya yang selalu mengiringi langkah saya melintasi waktu. Cahaya itu berasal dari Ibu saya, yang ternyata masih saja membantu saya melewati hari demi hari sampai saat ini.

Pagi ini, 7 Juni 2020 delapan hari menjelang ulang tahunnya ke-77, cahaya itu akhirnya padam. Cahaya yang telah menerangi pernikahannya lebih dari setengah abad, cahaya yang telah menerangi anak-anaknya, cucu-cucunya bahkan cicitnya itu, akhirnya padam dari raganya. Namun cahaya dalam jiwanya, ternyata telah membias pada anak-anaknya, cucu-cucunya dan ke semua keturunannya.

Sejatinya, Ibu saya telah mengajarkan kepada saya agar memandang kehidupan sebagai sebuah penghormatan, supaya saya dapat menikmati setiap senyuman  yang ada di hadapan saya.

Dan sekaligus mengajarkan kepada saya agar tidak memandang kehidupan sebagai sebuah hak, yang akan membuat saya menuntut banyak pada hidup, dan berakhir kecewa bila  yang terjadi tidak sesuai harapan. Ibuku guruku, ia tak hanya cahaya, tapi juga tangan lembut yang menghidupkan.

…….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun