Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cahaya Kasih Tanpa Batas

20 November 2020   12:13 Diperbarui: 20 November 2020   12:15 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Semua anak-anak Ibu, pernah berkata  dan berperilaku kasar. Jadi, tidak apa-apa.” balas Ibu saya datar waktu itu, namun tetap menyiratkan makna yang dalam dan baru saya sadari, semua anak-anaknya ternyata memang dibebaskannya meluapkan kemarahan kepadanya, sosok yang sudah pasti akan selalu memaafkan.

Ya, Tuhan. Ini benar-benar pelajaran yang tidak saya dapatkan di sekolah formal. Sekarang saya mengerti kenapa Ibu saya tak mementingkan nilai akademis, tapi lebih memprioritaskan kebahagiaan anak-anaknya dalam menjalani proses belajar di mana pun itu. Di rumah, di sekolah ataupun di lingkungan masyarakat.

Saya hampir tak kuasa membayangkan bila cahaya itu padam saat waktu membawanya berada di usia senja. Saat kulit tangannya telah keriput dan semua rambutnya telah memutih. Waktu bisa saja tak bergeming dari tempatnya. Bukan lagi kebosanan yang akan melanda rasa dalam jiwa, tapi bisa saja akan merenggut cahaya itu sendiri.

Tiba-tiba saja waktu seolah berhenti, tepat saat saya menyaksikan bunga cempaka hawai di halaman rumah saya yang kedua jatuh ke tanah. Kilau cahaya dari air yang menempel di kelopaknya tak sengaja tertangkap oleh mata saya, dan langsung membangkitkan ingatan saya akan cahaya yang selalu mengiringi langkah saya melintasi waktu. Cahaya itu berasal dari Ibu saya, yang ternyata masih saja membantu saya melewati hari demi hari sampai saat ini.

Pagi ini, 7 Juni 2020 delapan hari menjelang ulang tahunnya ke-77, cahaya itu akhirnya padam. Cahaya yang telah menerangi pernikahannya lebih dari setengah abad, cahaya yang telah menerangi anak-anaknya, cucu-cucunya bahkan cicitnya itu, akhirnya padam dari raganya. Namun cahaya dalam jiwanya, ternyata telah membias pada anak-anaknya, cucu-cucunya dan ke semua keturunannya.

Sejatinya, Ibu saya telah mengajarkan kepada saya agar memandang kehidupan sebagai sebuah penghormatan, supaya saya dapat menikmati setiap senyuman  yang ada di hadapan saya.

Dan sekaligus mengajarkan kepada saya agar tidak memandang kehidupan sebagai sebuah hak, yang akan membuat saya menuntut banyak pada hidup, dan berakhir kecewa bila  yang terjadi tidak sesuai harapan. Ibuku guruku, ia tak hanya cahaya, tapi juga tangan lembut yang menghidupkan.

…….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun