Saat itu, Ibu saya tak segan-segan menyarankan kepada saya untuk mulai belajar berpuasa dan berdoa kepada Tuhan dalam keadaan seperti itu. Tidak dibelikan jajanan seperti kacang atom kesukaan saya, atau kelapa muda minuman favorit saya untuk mengatasi kebosanan saya. Saya memang selalu yakin bahwa Ibu saya adalah cahaya di rumah kami, yang akan selalu menerangi jalan saya, di mana pun saya berada dan dalam keadaan apa pun.
Kejenuhan memang tenyata harus dihadapi dan diterima dengan ikhlas. Kebosanan bisa melanda siapa saja, baik itu anak-anak maupun orang dewasa. Dan benar saja, suatu malam saya pernah mendapati Ibu saya menangis dalam doanya. Waktu itu, saya mengintip dari balik selimut sambil berpura-pura tertidur pulas. Saya berpikir mungkin Ibu saya sedang merasakan kebosanan seperti yang pernah saya rasakan. Berserah diri kepadaNya, ternyata memanglah obat yang mujarab, dan itu adalah resep dari Ibu saya.
Barang kesukaan, makanan dan minuman favorit, atau kesibukan apa pun, saya kira memang hanya bersifat sementara. Dan saat waktu seolah tak bergeming dari tempatnya seperti pandemi sekarang ini, rasanya resep Ibu saya itu sangat berguna bagi saya untuk mengatasi kebosanan yang dialami anak-anak saya, ketika ruang beraktivitasnya mendapatkan batasan.
Menjadi ibu rumah tangga adalah teladan yang tepat bagi saya, tepatnya menurut perspektif saya. Teladan itu diberikan turun-temurun dari Nenek saya ke Ibu saya, dan akhirnya jatuh ke saya, yang tanpa saya sadari ternyata juga saya turunkan kepada anak-anak saya.
Seperti Ibu saya, kini saya pun memerdekakan anak-anak saya mempelajari apa saja yang mereka sukai, dan ternyata itu malah membuat mereka lebih maksimal dengan apa yang mereka pelajari, yang tentu saja akan sangat berguna saat mereka nanti berada di posisi sebagai orang tua dan menjadi pendidik yang utama bagi anak-anaknya.
Pagi ini, aroma manis bunga cempaka hawai masih memabukkan saya dengan kenangan indah saat saya masih kecil, ketika saya menempelkan telinga ke perut Ibu saya, yang sekarang juga dilakukan anak-anak saya kepada saya. Saya pun tersenyum, saya seperti merasakan apa yang Ibu saya rasakan ketika saya menempelkan telinga saya di perutnya waktu itu.
Kini saya merasakan gairah hidup saya telah bangkit kembali dengan terang cahaya dari Ibu saya, dan waktu pun seolah kembali bergerak maju, melesat dengan cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Saat ini, saya telah berada di posisi seperti Ibu saya ketika memiliki anak remaja sekaligus anak-anak yang masih kecil. Ibu saya tak pernah mengajarkan bagaimana caranya bertahan hidup waktu itu. Ia hanya membiarkan anak-anaknya memotret sendiri perjalanan hidupnya, sebagai cahaya di dalam rumahnya.
Beliau selalu mengasihi apa yang ada di hadapannya dengan caranya. Kadang dengan kelembutan, ketegasan dan juga kemarahan. Ibu saya telah membuat rumahnya sebagai tumpahan rasa. Anak-anaknya bebas bicara apa saja, bercanda dan juga bertengkar. Tapi ia tetap menunjukkan sudut ruang tersembunyi, yang di sana ada cahaya kasih tanpa batas.
Waktu pun akhirnya mendewasakan saya. Saya merasa tak enak hati dengan perilaku saya yang kadang kasar kepada Ibu saya. Kemerdekaan berbicara itu ternyata malah membuat saya kesulitan untuk menyampaikan maaf atas ketidakpatutan perilaku saya di masa lalu. Tapi akhirnya keberanian itu datang juga, ketika rasa bersalah memenuhi seluruh ruang di hati saya.
“Ibu, maafkan semua perkataan dan perilaku kasar saya selama selama ini. Mulai dari anak-anak hingga saat ini.”