Teringat kampung halamanku di Sanggau, Kalimantan Barat. Ibu kota sebuah kabupaten yang sebagian kecamatannya berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur ini, dilintasi beberapa sungai di antaranya sungai Sekayam, sungai Bonti dan sungai Liku. Sungai Liku yang memang berliku ini menjadi salah satu ajang berenang anak-anak yang tinggal di kampung sekitar gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Sanggau.
Air sungainya berwarna kemerahan, karena banyak akar pohon yang menjalar dan berjuntaian. Kami sering bermain Tarzan-tarzanan, seraya berteriak auoooo...lalu terjun ke sungai kecil itu. Hingga salah satu dari kami, Anton namanya, hilang ditelan buaya. Sejak itu, aku dan abangku, tidak boleh lagi berenang di sungai Liku. Kami pun pindah ke sungai Engkakal yang dangkal dekat rumah orang tua kami di bukit Meirasah.
Selain mandi di sungai atau kali, kata orang Jakarta, kami sering pergi ke hutan di belakang rumah. Orang Dayak, sangat menghormati hutan, tanah, dan air sebagai sumber kehidupan. Orang tua kami juga mengajari anak-anaknya untuk berladang atau bercocok tanam dan mencari sayur di hutan untuk kebutuhan keluarga, jika libur sekolah. Ada juga yang mencari sayur di hutan kemudian dijual di pasar. Jenis sayuran hutan itu macam-macam, seperti rebung (bambu muda)buah dan bunga kecombrang, pakis, Juna’ atau lengkio, kangkung hutan, ubi dan daun ubi (singkong), buah peringgi, buah labu, timun dan lainnya.
Pembalak Hutan, Tambang dan Sawit Si Buah Emas
Sampai era pohon Kelapa Sawit datang masuk ke hutan Kalimantan Barat, juga industri penebangan kayu dan pembalakan liar atau ilegal loging, hingga penambangan emas yang dampaknya merusak lingkungan termasuk sungai. Setelah dibuka jalur darat, lintas Malindo, dari Tanjung, Sosok Tayan Hulu menuju Kembayan, sungai Sekayam nyaris tak mendapat perhatian istimewa lagi. Bahkan tercatat sejak tahun 2010, air sungai Sekayam sudah tercemar limbah zat kimia dari perkebunan kelapa sawit, juga limbah pertambangan. Telah beroperasi 40 perusahaan kelapa sawit (5 perusahaan di kecamatan Kembayan, kabupaten Sanggau) dan 81 perusahaan pertambangan (3 perusahaan dengan izin eksplorasi 76.568 Ha di kecamatan Kembayan).
Perkebunan kelapa sawit mulai muncul di Kalimantan Barat (Kalbar)sejak 1980-an, melalui PT Perkebunan Nasional (PTPN XIII) milik pemerintah. Dan Kalbar merupakan provinsi dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas ketiga di Tanah Air. Ironisnya Kalbar masih menjadi provinsi paling namun paling miskin dibanding wilayah lain di Kalimantan.
Selain itu, industri penebangan kayu juga turut berperan dalam penggundulan hutan di Kalimantan. Selain pabrik-pabrik kayu yang bertebaran di Kalimantan, juga ulah pelaku ilegal loging atau pembalak hutan. Tak heran jika sudah jarang orang membangun rumah dari kayu dan papan di Kalimantan. Pasalnya keberadaan kayu sudah sangat langka, dan jika ada pun harganya mahal.
Puncaknya, penambangan emas semakin menoreh luka pada bumi Kalimantan. Juga penambangan mineral lainnya, yang tidak segera disertai program reboisasi atau penanaman kembali. Sehingga menyisakan lubang-lubang bekas tambang yang menganga dalam. Jika hujan deras datang, maka banjir menyerang.
Pengujung 2006, saat lagi “gabut” dari pekerjaan, aku membeli bibit karet untuk ditanam di lahan 1 hektar, warisan orang tua di desa Kuala Dua, Kecamatan Kembayan. Pengelolaannya kuserahkan pada sepupu yang tinggal tak jauh dari kebun. Di sebelah kebun karet, adik memilih bertanam kelapa sawit yang ia sebut sebagai buah emas.
Harga sawit dan karet yang tak menentu, membuat petani pun tak pasti nasibnya. Pilihan lain petani di pedalaman Kalbar adalah bertani pohon cokelat. Seperti Paman Pipil, adik Mamakku (almarhumah) yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana dari bertanam pohon coklat ini, selain usahanya menjadi juragan kulat/torehan karet. Ia berdagang lintas negara, bermodalkan buku Pas lintas Batas, sejenis paspor untuk penduduk perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak, Malaysia Timur.