Mohon tunggu...
Christina Lomon Lyons
Christina Lomon Lyons Mohon Tunggu... Lainnya - Dayakdreams.com, mahasiswi Magister Administrasi Bisnis URINDO

Saya pernah menjadi reporter di Tabloid Wanita Indonesia mulai Januari 1991, dan menjadi Pemred tabloid WI pada 2012. Saat pandemi Covid 19, saya mulai kuliah lagi , walau usia sudah kepala lima, sebentar lagi masuk kategori lansia. Saya memiliki website Dayakdreams.com dan weddingdreams.id.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Investasi Hijau di Nusantara Jangan Kalah dengan Hutan Nasional Indiana

27 Juli 2022   14:39 Diperbarui: 27 Juli 2022   14:46 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teringat kampung halamanku di Sanggau, Kalimantan Barat. Ibu kota sebuah kabupaten yang sebagian kecamatannya berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur ini, dilintasi beberapa sungai di antaranya sungai Sekayam, sungai Bonti dan sungai Liku. Sungai Liku yang memang berliku ini menjadi salah satu ajang berenang anak-anak  yang tinggal di kampung sekitar gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Sanggau.

Air sungainya  berwarna kemerahan, karena  banyak akar pohon yang menjalar dan berjuntaian. Kami sering bermain Tarzan-tarzanan, seraya berteriak auoooo...lalu terjun ke sungai kecil itu. Hingga salah satu dari kami, Anton namanya, hilang ditelan buaya. Sejak itu, aku dan abangku, tidak boleh lagi berenang di sungai Liku. Kami pun  pindah ke sungai Engkakal yang dangkal dekat rumah orang tua kami di bukit Meirasah.

Selain mandi di sungai atau kali, kata orang Jakarta, kami sering pergi ke hutan di belakang rumah. Orang Dayak, sangat menghormati hutan, tanah, dan air sebagai sumber kehidupan. Orang tua kami juga mengajari anak-anaknya untuk berladang atau bercocok tanam dan mencari sayur di hutan untuk kebutuhan keluarga, jika libur sekolah. Ada juga yang mencari sayur di hutan kemudian dijual di pasar. Jenis sayuran hutan itu macam-macam, seperti rebung (bambu muda)buah dan bunga kecombrang, pakis, Juna’ atau lengkio, kangkung hutan, ubi dan  daun ubi (singkong), buah peringgi, buah labu, timun dan lainnya.

 

Kebun Karet di Kuala Dua, Kec. Kembayan (Foto : Dokpri)
Kebun Karet di Kuala Dua, Kec. Kembayan (Foto : Dokpri)

Pembalak Hutan, Tambang  dan Sawit Si Buah Emas 

Sampai era pohon Kelapa Sawit datang masuk ke hutan Kalimantan Barat, juga industri penebangan kayu dan pembalakan liar atau ilegal loging, hingga penambangan emas yang dampaknya merusak lingkungan termasuk sungai.  Setelah dibuka jalur darat, lintas Malindo, dari Tanjung, Sosok Tayan Hulu  menuju Kembayan, sungai Sekayam nyaris tak mendapat perhatian istimewa lagi. Bahkan tercatat sejak tahun 2010, air sungai Sekayam sudah tercemar limbah zat kimia dari perkebunan kelapa sawit, juga limbah pertambangan. Telah beroperasi 40 perusahaan kelapa sawit (5 perusahaan di kecamatan Kembayan, kabupaten Sanggau) dan 81 perusahaan pertambangan (3 perusahaan dengan izin eksplorasi 76.568 Ha di kecamatan Kembayan).

Perkebunan kelapa sawit mulai muncul di Kalimantan Barat (Kalbar)sejak 1980-an, melalui PT Perkebunan Nasional (PTPN XIII) milik pemerintah. Dan Kalbar merupakan provinsi dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas ketiga di Tanah Air. Ironisnya Kalbar masih menjadi provinsi paling namun paling miskin dibanding wilayah lain di Kalimantan.

Selain itu, industri penebangan kayu juga turut berperan dalam penggundulan hutan di Kalimantan. Selain pabrik-pabrik kayu yang bertebaran di Kalimantan, juga ulah pelaku ilegal loging atau pembalak hutan. Tak heran jika sudah jarang orang membangun rumah dari kayu dan papan di Kalimantan. Pasalnya keberadaan kayu sudah sangat langka, dan jika ada pun harganya mahal.

Puncaknya, penambangan emas semakin menoreh luka pada bumi Kalimantan. Juga penambangan mineral lainnya, yang tidak segera disertai program reboisasi atau penanaman kembali. Sehingga menyisakan lubang-lubang bekas tambang yang menganga dalam. Jika hujan deras datang, maka  banjir menyerang.

Pengujung 2006, saat lagi “gabut” dari pekerjaan, aku membeli bibit karet untuk ditanam di lahan 1 hektar, warisan orang tua di desa Kuala Dua, Kecamatan Kembayan. Pengelolaannya kuserahkan pada sepupu yang tinggal tak jauh dari kebun. Di sebelah kebun karet, adik memilih bertanam kelapa sawit yang ia sebut sebagai buah emas.

Harga sawit dan karet yang tak menentu, membuat petani pun tak pasti nasibnya. Pilihan lain petani di pedalaman Kalbar adalah bertani pohon cokelat. Seperti Paman Pipil, adik Mamakku (almarhumah) yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana dari bertanam pohon coklat ini, selain usahanya menjadi juragan kulat/torehan karet. Ia berdagang lintas negara, bermodalkan buku Pas lintas Batas, sejenis paspor untuk penduduk perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak, Malaysia Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun