Detail untuk jalur pemandu, berkolaborasi antara jalur pemandu dengan marmer/granit, dan tidak mungkin lepas, seperti jalur pemandu berwana kuning, yang lazim dipakai dimana2. Detailnya pun, berbeda, dengan kebetalan perabaan sekitar 3 cm (untuk jalur pemandu kuning hanya sekitar kurng dari 1 cm.
Bahkan, ketika aku melintasi jalur pemandu ini, kursi roda ajaibku pun tidak terlalu nyaman karena terlalu tinggi.
***
Seperti juga Jeang yang hampir 100% ramah disabilitas dan aku sebagai salah satu end-user nya bisa berkata, bahwa Singapore pun nyata sebagai kota yang ramah disabilitas.
Ketika Singapore yang baru berumur muda sebagi sebuah Negara (berbeda dengan Jepang yang sudah tua), Singapore berhasil mambangun negerinya sebagai salah satu "negeri inklusi" dunia. Jika diatakan sebagai kota ramah disabilitas, ya memang demikian.
Dengan konsep yang bereda dengan negara2 lainnya, Singapore membuktikan dengan pandangannya sebagai Negara yang peduli kepada kesejahteraan warganya, termasuk disabilitas. Dengan konsep yang berbeda antar Negara lainnya, Singapore pun membuktikan kepadaku (minimal), bahwa sebagai seorang arsitek humanis dan sebagai salah seorang end-user disabilitas, seringkali aku dibuat bingung dengan konsep2nya.
Tetapi dalam pengamatanku sewaktu survey disana, aku mengeert bagaimana Singapore merancang bangun perkotaannya, tetap mengikuti konsep dan kaidah untuk disabilitas. Sebuah kepedulian yang berbeda, ketika aku tahu bahwa Singapore justru melatih tuna netra untuk mampu hidup aman dan nyaman dinegara dan kotanya sendiri .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H