Perbedaan adalah kekuatan, itu bukan kelemahan dan saat kita membangun kembali dengan lebih baik, dunia pascapandemi harus menampilkan masyarakat di mana peluang ada untuk semua.
"We Have Wings" adalah konsep dari upacara yang panjang, sebuah pesan yang terpampang di lantai Stadion Olimpiade yang hampir kosong, karena tidak adanya penonton.
Baling2 raksasa dan balon mengelilingi panggung luar, membentuk Paralimpiade Agitos, sementara 100 orang anggota kru, melambaikan syal dalam warna simbol - merah, hijau dan biru - diikuti dengan pertunjukan kembang api.
Karena 'Parade Bangsa' menggunakan alfabet negara asal, Islandia - 'Aisurando' dalam bahasa Jepang - berada di urutan kedua, diikuti oleh Irlandia - 'Airurando'. Indonesia masuk dan termasuk pada menit2 pertama, sehingga aku tidak terlalu lama menunggu.
Ketidakhadiran yang menonjol adalah Selandia Baru dan Afghanistan.
Kontingen Kiwi (SelandiaBatu atau New Zealand), memilih untuk mengirimkan satu-satunya wakil sebagai pembawa bendera karena ketakutan akan Covid-19.
Sementara bendera Afghanistan dikibarkan oleh IPC sebagai tanda solidaritas setelah atlet dari sana ditolak kesempatan untuk tampil karena ketidakpastian yang disebabkan oleh Taliban.
Tim Jepang, yang terbesar dengan 260 anggota, masuk yang terakhir, sebagai tuan rumah. Tokyo membuat sejarah sebagai kota pertama yang menjadi tuan rumah Paralimpiade musim panas untuk kedua kalinya, setelah juga melakukannya pada tahun 1964.
Mereka berharap, Olimpiade akan menjadi kesempatan untuk membangun masyarakat di mana setiap orang bebas untuk hidup sebagaimana adanya dalam saling mendukung dan memahami, bebas dari diskriminasi atau hambatan dalam bentuk apa pun.Â
Atlet dan olahraga memiliki kekuatan untuk mengubah dunia dan masa depan dunia dan membentuk perubahan social.