By Christie Damayanti
Meskipun UU disabilitas telah diberlakukan beberapa dekade yang lalu, arsitek masih harus berjuang dengan persyaratan disabilitas, terutama di Indonesia.
[NON] KEPEDULIAN PERKOTAAN
Beberapa arsitek dunia, mengeksplorasi bagaimana kebangkitan kota2 yang didorong oleh kecepatan dan efisiensi telah mengabaikan aksesibilitas, mengabaikan kebutuhan orang2 yang secara fisik tidak dapat hidup atau mengikuti lingkungan padat perkotaan.
Di kota2 kecil di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, mungkin tidak lama warga disana untuk berjalan atau bersepeda ke tempat tujuan mereka, tetapi justru banyak kota2 kecil tersebut tidak melayani disabilitas dan kaum prioritas.
Dengan kota2 kecil yang bisa berjalan kaki, bersepeda bahkan naik becak, justru bagi disabilitas kursi roda (berarti tubuh atau kakinya bermasalah), atau disablitas netra atau lansia dengan tongkat, mereka susah untuk berjalan dan bersepeda.
Karena pedestriannya, tidak berfungsi dengan baik. Tidak hanya terlalu kecil, bahkan tanpa pedestrian, apalagi jalur2 kuning untuk disabilitas netra.
Beberapa kota2 dunia, mengeksplorasi bagaimana perencana kota merancang kota mereka sesuai dengan waktu, dan bukan fungsi atau kebutuhan.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa fasilitas disabilitas, fasilitas di ruang public akan "menghambat" fasilitas2 umum lainnya.
Pemangku jabatan, akan lebih berpikir untuk membangun fasilitas disabilitas, tetapi dianggap "membuang waktu" serta "membuang uang dan tenaga", untuk membangun fasilitas disabilitas, yang hanya beberapa gelintir saja.