Suasanya sudah layaknya di Jepang, dengan dimensi ruang yang cukup luas. Sudah ada beberapa lapak untuk berjualan, dan petugasnya ramah ketika menolong kami untuk membeli tiket dengan 2 tujuan.
Di mesin pembeli tiket atau vending machine, sudah cantik, tetapi sepertinya belum siap untuk benar2 berfungsi. Karena ketika mas Ivan mau memasukkan lembaran 50.000, dicegah oleh petugasnya, karena katanya, mesin itu belum dapat mengembalikan.
Sehingga lembaran 50.000 itu dia bawa ke belakang untuk menukarkan kwmbalian dan dikembalikan kepad mas Ivan, secara manual. Hmmmmmm ......
Oklah ....
Sebelum kami masuk ke ruang tunggu yang dibatasi oleh gardu2 dengan meng-tap kartu, aku mengamati berkeliling. Yang aku dapatkan ada sebuah masalah yang mungkin tidak terlalu diperhatikan, jatu tentang "jalur kuning", bagi disabilitas netra.
Mengapa disebut jaur kuning? Mengapa tidak warna merah atau warna yang lainnya?
Karena bagi penyandanga disabilitas netra, ibu bukan hanya yang benar2 tidak bisa melihat saja (buta), tetapi masih banyak yang tetap bisa melihat hanya sangat terbatas (low vision). Sehingga, warna kuning, memberikan pancaran sinar yang membukan retina mata sehingga ada bayang2 tertentu, untuk bisa mengikuti jalur2 yang memang diperuntukkan untuk mereka.
"Sangat disayangkan kenapa warnanya diubah. Lajur tunanetra seharusnya oranye, kuning. Kalau yang sekarang untuk tunanetra memang tidak masalah, tetapi untuk yang low vision degradasi warna tidak bisa. Karena low vision harus butuh sinar kalau sekarang gelap," kata Winarsih pada acara 'Ekspose Hasil Kegiatan Advokasi Kebijakan Mendorong PERDA Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas' di Aula Gedung Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (11/1/2017).
Jadi, pertanyaanku pertama kali melihat "jalur kuning" menjadi "jalur abu2", adalah, MENGAPA?
Estetika memang penting, tetapi fungsi lebih penting!
Apalagi, jalur ini justru benar2 untuk kaum disabilitas netra, untuk bermobilitas. Fungsi2 utama, janganlah dijadikan lahan ke-egois-an diri!