Untuk sendiri, aku lebih mengamati kehidupan social nya disana, dengan berbagai karakter pengunjung serta berbagai tingkat ekonomi. Karena, aku pun melihat beberapa orang homeless, walau tidak mencolok.
Tingkat kriminalitas di London pun cukup tinggi. Pick-pocket atau pencopet, sangat lihai. Kata petugas hotel tempat kami menginap, untuk terus berhati2 ditempat keramaian.
Aku juga ingat sekali, waktu itu tanggal 28 Juli 1991, bertepatan dengan ulang tahun bapakku. Sehingga, ketika kami mengunjungi Oxford Street, ami berpencar dan akan bertemu kembali di suatu titik yang ada bench atau tempat dduknya, untuk memberikan hadiah ulang tahun untuk bapak ......
Aku pernah menulis di artikel2 tentang Roma (via Condotti), Paris (Champs Ellyesee) dan Amsterdam (Klaverstraat), bahwa Eropa lebih memilih konsep perbelanjaan sebagai "shopping street, dibandingkan perbelanjaan dalam gedung, seperti mall. Di Eropa tetap ada mall, tetapi justru perbelanjaan shopping street lebih ramai.
Mengapa?
Analisaku mengatakan bahwa, karena negara2 di benua Eropa adalah negara2 yang mempunyai 4 musim. Dimana di musim2 panas dan musim semi, mereka akan lebih "mencari" matahari di udara terbuka, dibandingkan di dalam bangunan.
Untuk mereka, berjalan2 di luar banguan, selain lebih sehat dari pada di dalam bangunan, mereka tetap bisa berbelanja sambil "window shopping".
Konsep shopping street, lebih banyak dipakai di negara2 4 musim. Sangat berbeda dengan negara2 Asia (yang lebih banyak punya 2 musim saja), yang lebih memilih belanja di dalam bangunan, Seperti di mall.
Konsep2 seperti inilah yan dipelajari oleh arsitek2 dunia. Jika kalian memperhatikan, desain2 mall yang sangat beragam, banyak terdapat di Indoneia, Singapore, Thailand atau Filipina.
Sedangkan Jepang atau Korea, karena mereka memounyai 4 musim, mereka tetap memilih membangun shopping street.