By Christie Damayanti
Kota London juga mempunyai "Oxford".
Jika kota Oxford yang aku tuliskan di beberapa artikel sebelum ini adalah sebuah kota berjarak sekitar 1 jam dari kota London, kalau "Oxford" di kota London adalah sebuah jalan, bernama "Oxford Street".
Oxford Street adalah jalan utama di Kota Westminster di West End of London, yang membentang dari Tottenham Court Road ke Marble Arch melalui Oxford Circus. Ini adalah jalan perbelanjaan tersibuk di Eropa, atau sering disebut "shopping street", dengan sekitar setengah juta pengunjung setiap hari, dan pada 2012 memiliki sekitar 300 toko.
Jalan ini awalnya merupakan bagian dari Via Trinobantina, jalan Romawi antara Essex dan Hampshire melalui London. Dikenal sebagai Jalan Tyburn melalui Abad Pertengahan ketika terkenal karena hukuman gantung publik di Tyburn Gallows.
Kemudian dikenal sebagai Oxford Road dan kemudian Oxford Street pada abad ke-18, dan mulai berubah dari penggunaan perumahan menjadi komersial dan ritel pada akhir abad ke-19.
Tidak seperti jalan perbelanjaan terdekat seperti Bond Street, jalan ini mempertahankan elemen perdagangan downmarket bersama toko ritel yang lebih bergengsi.Â
Jaman Perang Duna II, jalanan mengalami pemboman hebat, dan beberapa toko lama termasuk John Lewis hancur total dan dibangun kembali dari awal.
Dan, terlepas dari persaingan dari pusat perbelanjaan lain seperti Westfield Stratford City dan Pusat Perbelanjaan Brent Cross, Oxford Street tetap diminati sebagai lokasi ritel, dengan beberapa jaringan toko utama mereka berada di jalan.Â
 Karena Oxford Street tetap menjadi "raja shopping street" di London, juga dengan namanya (Oxford), pemerintah kota London sangat memeliharanya, sebagai salah satu titik wisata paling terkenal untuk perbelanjaan di London.
Bahkan ketika kami disana, brosur2 wisata di tempat2 khusus, selalu menawarkan berwisata belanja di Oxford Street .....
Meruput beberapa referensi yang aku baca, Oxford Street membentang sejauh sekitar 1,9 km.
Berkeliling di Oxford Street, selain untuk berbelanja, aku selalu mengamati lingkungan erkotaannya. Mulai dari berjalan melewati Rathbone Place, Wardour Street dan Great Portland Street ke Oxford Circus, lalu bertemu Regent Street.
Oxford Street, walaupun merupakan shopping street, tetapi bukan full pedestrian. Jalanan tersebut sangat ramai, dank arena ini adalah area perbelanjaan dengan ribuan warga dan wisatawan yang berbelanja, menjadikan rea tersebut sangat ramai dan cenderung selalu macet.
Alhasil, adalah penumpukan kendaraan bermotor disetiap lampu merah .....
Aku tidak tahu, bagaimana pemikiran pemerintah kota London tentang "mengapa Oxford Street tidak dijadikan fully pedestrian". Kemungkinan besar adalah, bahwa Kepadatan kota London lah yang menghalangi.
Karena pada kenyataannya menurut sumber2 referensi yang aku baca, akhirnya warga kota London yang melewati Oxford Street, adalah yang memang benar2 mau kesana. Jika untuk ke tempat lain, mereka akan menghindari Oxford Street.
Berjalan2 di Oxford Street dengan pertokoan retail mahal, sama seperti berjalan2 di shopping street di 5th Evenue New York atau di Beverly Hills Hollywood. Toko2 braded mahal, tetapi kenyataannya bukan semua orang kaya tumplek disini.
Sebagian besar adlah wisatawan asing, untuk berwisata belanja.
Untuk sendiri, aku lebih mengamati kehidupan social nya disana, dengan berbagai karakter pengunjung serta berbagai tingkat ekonomi. Karena, aku pun melihat beberapa orang homeless, walau tidak mencolok.
Tingkat kriminalitas di London pun cukup tinggi. Pick-pocket atau pencopet, sangat lihai. Kata petugas hotel tempat kami menginap, untuk terus berhati2 ditempat keramaian.
Aku juga ingat sekali, waktu itu tanggal 28 Juli 1991, bertepatan dengan ulang tahun bapakku. Sehingga, ketika kami mengunjungi Oxford Street, ami berpencar dan akan bertemu kembali di suatu titik yang ada bench atau tempat dduknya, untuk memberikan hadiah ulang tahun untuk bapak ......
Aku pernah menulis di artikel2 tentang Roma (via Condotti), Paris (Champs Ellyesee) dan Amsterdam (Klaverstraat), bahwa Eropa lebih memilih konsep perbelanjaan sebagai "shopping street, dibandingkan perbelanjaan dalam gedung, seperti mall. Di Eropa tetap ada mall, tetapi justru perbelanjaan shopping street lebih ramai.
Mengapa?
Analisaku mengatakan bahwa, karena negara2 di benua Eropa adalah negara2 yang mempunyai 4 musim. Dimana di musim2 panas dan musim semi, mereka akan lebih "mencari" matahari di udara terbuka, dibandingkan di dalam bangunan.
Untuk mereka, berjalan2 di luar banguan, selain lebih sehat dari pada di dalam bangunan, mereka tetap bisa berbelanja sambil "window shopping".
Konsep shopping street, lebih banyak dipakai di negara2 4 musim. Sangat berbeda dengan negara2 Asia (yang lebih banyak punya 2 musim saja), yang lebih memilih belanja di dalam bangunan, Seperti di mall.
Konsep2 seperti inilah yan dipelajari oleh arsitek2 dunia. Jika kalian memperhatikan, desain2 mall yang sangat beragam, banyak terdapat di Indoneia, Singapore, Thailand atau Filipina.
Sedangkan Jepang atau Korea, karena mereka memounyai 4 musim, mereka tetap memilih membangun shopping street.
Dan, Oxford Street akan terus melestarikan budaya perbelanjaan shopping street, yang terus mengembangkan bisnisnya sebagai pusat komersial dan retail branded London .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H