Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nenek-nenek Tua Jepang Itu Membuat Aku Terinspirasi

17 April 2020   16:34 Diperbarui: 17 April 2020   16:29 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi | Dari ujung gerbong, tempat aku biasa berada ketika menumpang kereta, aku melihat seorang nenek, yang aku yakin beliau berumur diatas 80 tahun. Beliau memakai topi, dan posisinya tepat di depan pintu keluar untuk stasiun berikutnya. Ketika kereta berhenti, sworang petugas stasiun menjemputnya dengan membawa "ramp mobile", seperti yang selalu aku lakukan. Si nenek itu terlihat hanya sendirian saja, memakai kursi roda elektrik setara dengan punyaku, dan bergerak cepat serta percaya diri yang penuh .....

By Christie Damayanti

Jepang sangat akomodatif terhadap para penyandang cacat di seluruh negaranya. Di semua kota2 besar, kota2 kecil bahkan pedesaan sekalipun, kesaksianku berkata, bahwa negeri cantik ini sangat "ramah disablitas" untuk ruang2 publk, terutama trotoar untuk pedestrian dan stasiun2 kereta serta terminal2 bus.

Disabilitas pun, bukan hanya cacat fisik saja, tetapi termasuk kaum prioritas. Disebut kaum prioritas adalah orang2 tua atau lansia, keluarga muda dengan bayi dan balita, serta ibu2 hamil dan penderita sakit. Pemeritah Jepang sangat menghargai mereka.

Itu yang aku rasakan sendiri, dan aku melihat sendiri, betapa Jepang sangat peduli pada kami.

Bicara tentang disabilitas, sudah banyak yang aku tuliskan tentang "kedepulian Jepang untuk disabilitas", di banyak artikel2ku sebelumnya. Bisa di baca dengan tagar #disabilitas.

Tetapi, di arikel ini aku lebih menekankan sebuah kepercayaan diri yang penuh dan utuh, bagi warga Jepang, untuk mengarungi kehidupan mereka dalam keterbatasan2 mereka.

Ketika banyak orang merasa "tidak mampu berbuat apa2 dengan kecacatan dan keterbatasan mereka", ternyata kecacatan dan keterbatasan warga Jepang, justru memberi peluang dan insprasi penuh dalam hatiku.

Sebagai seorang disabilitas dengan kelumpuhan tubuh kananku karena serangan stroke tahun 2010 lalu, aku tahu dan mengderti sekali, betapa tubuhku agak sulit bergerak serta berjalan. Terlebih lagi, hidupku fully ditopang hanya di tubuh kiriku saja, karena tubuh kananku lumpuh.

Tetapi, yang memang mengenalku secara real atau secara tulisan, pada kenyataannya aku tetap bisa bekerja dengan baik di sebuah perusahaan multti nasional, aku single parent dan aku tetap travelling keliling dunia, dengan kursi roda ajaibku.

Jadi, mengapa aku tidak menjalankan kehidupanku seperti biasa sebelum aku cacat, walau sekarang aku cacat?

Percaya diriku harus terus kuasah sampah sekarang, dan aku semakin tahu bahwa Tuhan mau aku tetap berkarya walau dalam keterbatasan ......

Nah .....

Ketika banyak orang2 yang aku layani di Jakarta tetap merasa tidak mmpu apa2 karena cacat, justru aku terkagum2 waktu dengan mata kepalaku sendiri, betapa kaum disabilitas dan kaum prioritas Jepang hidup baik, mandiri dan terhormat, seperti warga Jepang yang non-disabilitas.

 

Dokumentasi pribadi | Dari ujung gerbong, tempat aku biasa berada ketika menumpang kereta, aku melihat seorang nenek, yang aku yakin beliau berumur diatas 80 tahun. Beliau memakai topi, dan posisinya tepat di depan pintu keluar untuk stasiun berikutnya. Ketika kereta berhenti, sworang petugas stasiun menjemputnya dengan membawa "ramp mobile", seperti yang selalu aku lakukan. Si nenek itu terlihat hanya sendirian saja, memakai kursi roda elektrik setara dengan punyaku, dan bergerak cepat serta percaya diri yang penuh .....
Dokumentasi pribadi | Dari ujung gerbong, tempat aku biasa berada ketika menumpang kereta, aku melihat seorang nenek, yang aku yakin beliau berumur diatas 80 tahun. Beliau memakai topi, dan posisinya tepat di depan pintu keluar untuk stasiun berikutnya. Ketika kereta berhenti, sworang petugas stasiun menjemputnya dengan membawa "ramp mobile", seperti yang selalu aku lakukan. Si nenek itu terlihat hanya sendirian saja, memakai kursi roda elektrik setara dengan punyaku, dan bergerak cepat serta percaya diri yang penuh .....
Aku teringat di Jakarta.

Beberapa teman dengan orang tua yang belum setua nenek2 itu, beberapa dari mereka tidak mau pergi2 karena merasa malu dengan kursi roda atau merasa malas untuk keluar, padahal hanya sekear bersenang2 dengan keluarganya.

Para orang tua itu, lebih memilih hanya di rumah saja, padahal mereka terlihat tidak seringkih nenek2 tua seperti foto diatas.

Tetapi, sebenarnya apakah mereka bahagia sungguhdengan keputusan untuk dirumah saja?

 

Dokumentasi pribadi | Kasus kedua ini, aku dan Michelle sedang menunggu kereta untuk pulang, dan ada seorang nenek yang aku juga yakin umurnya diatas 80 tahun. Mereka mengobrol dengan bahagia, walau aku tidak mengerti apa yang diobrolkannya, karena berbahasa Jepang. Setelah nenek2 itu masuk ke kereta yang menjemputnya, aku bertanya pada Michelle, apa yang diobrolkan? Ternyata si nenek2 itu banyak bertanya, meangapa Michelle di Jepang, koq bisa berbahasa Jepang dengan baik, dimana rumahnya, dan sebagainya. Dan mereka bisa mengobrol dengan asik dalam beberapa menit saja, sambil menunggu kereta .....
Dokumentasi pribadi | Kasus kedua ini, aku dan Michelle sedang menunggu kereta untuk pulang, dan ada seorang nenek yang aku juga yakin umurnya diatas 80 tahun. Mereka mengobrol dengan bahagia, walau aku tidak mengerti apa yang diobrolkannya, karena berbahasa Jepang. Setelah nenek2 itu masuk ke kereta yang menjemputnya, aku bertanya pada Michelle, apa yang diobrolkan? Ternyata si nenek2 itu banyak bertanya, meangapa Michelle di Jepang, koq bisa berbahasa Jepang dengan baik, dimana rumahnya, dan sebagainya. Dan mereka bisa mengobrol dengan asik dalam beberapa menit saja, sambil menunggu kereta .....
Kenyataan ini membuat aku semakin merenung. Si nenek2 tua ini, dengan bahagia berjalan2 sendirian, tanpa teman, berbelanja sendirian (dia membawa tas belanjaan dari supermarket), dan tetap mampu mengajak ngobrol seorang asing (Michelle) dan bercanda dengan nya .....

Sesuatu yang cukup ironis, ketika di Jakarta nenek2 haus selalu ditemani oleh susternya, dan sangat terlihat tidak mandiri dan bergantung kepada keluarganya .....

Dokumentasi pribadi | Seorang ibu tua, terbungkuk2 menggendong barang belanjaannya, masuk ke gerbong yang aku juga tumpangi. Ibu itu langsung duduk di kursi prioritas, dan langsung tertidur dengan kelelahannya .....
Dokumentasi pribadi | Seorang ibu tua, terbungkuk2 menggendong barang belanjaannya, masuk ke gerbong yang aku juga tumpangi. Ibu itu langsung duduk di kursi prioritas, dan langsung tertidur dengan kelelahannya .....
Dia pergi sendiri, membawa belanjaannya sendiri, dan "berani" tidur tanpa terlalu berpikir berat tentang keamanannya .....

Ketiga kasus ibu2 tua di Jepang ini, membuat aku semakin terinspirasi, betapa kaum rioritas di Jepang sungguh mendapatan penghirmatan yang seharusnya sebagai warga Negara.

Bukan aku meng-underestimate negeriku Indonesia, tetapi aku tahu dan mngerti mengapa kaum prioritas Jepang sangat percaya diri seutuhnya?

Salah satunya adalah karena negeri canti ini mem-fasilitasi yang luar biasa di ruang2 publiknya, sehingga para kaum prioritas itu mampu bergerak dengan bebas dengn kursi rodanya, atau fasilitas2 ruang publiknya.

Jika di Indonesia, khususnya di Jakarta, memang sangat berbeda. Tanpa fasilitas, memang tidak nyaman untuk seorang tua berbegerak bebas, serta kemanan nya yang sangat diragukan. Dan, aku sangat mengerti itu .....

Terlepas dari perbedaan di kedua Negara ini, aku Cuma berpikir untuk aku sendiri.

Dengan keterbatasanku sebagai disabilitas sekarang, dan dengan keterbatasanku nantinya sebagai seorang perempuan tua 10 atau 20 tahun di depan, aku ingin tetap mandiri untuk bisa bergerak bebas dengan caraku sendiri.

Dengan kursi roda ajaibku, sekarang aku mampu mandiri sebagai disabilitas, dan semoga dengan kursi roda ajaibku yang sama (atau yang lebih baik), aku pun tetap akan mandiri untuk bergeras sebebas2nya, menjalani hidupku sampai Tuhan memanggilku pulang ......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun