Jepang memang sebuah Negara maju dan modern, tetapi Jepang pun tetap memberikan ruang untuk berkembang dengan kereligiusan dan ketradisionalan mereka. Karena, bukan berarti Jepang adalah Negara maju dan modern, tetapi mengabaikan keregiusan serta ketradisionalan mereka!
Papa ku tahu itu!
Aku baru "menangkap" maksudnya, ketika aku pertama kali ke Jepang.Â
Mengapa papa mengajak aku dan adik-adikku untuk ke The Great Buddha Kamakura!
Mengapa aku dan adik-adikku  tidak diajak ke Tokyo Disneyland, padahal waktu itu baru saja buka, dan anak-anak SD pasti gemar ke Disneyland?
Mengapa aku dan adik-adikku tidak diajak ke Akihabara, tempat teknologi kartun, games dan manga, dimana kami pasti sudah sekali ke sana?
Atau, mengapa aku dan adik-adikku tidak diajak berbelanja di Ginza, sementara sejak dulu pun Jepang merupakan salah satu pusat mode dunia?
Papaku tidak mau semua itu. Tetapi aku yakin, papaku pun yakin bahwa aku dan adik-adikku pun akan terbang ke Jepang lagi, guna melakukan hal-hal yang memang aku dan adik-adikku suka, di zaman kami, bukan di zaman papa dulu.
Papaku hanya membuka jalan untuk kami, sebagai medio awal untuk "berkenalan" dengan Jepang sebagai sebuah negara maju dan modern, tetapi tidak melupakan kereligiusan dan ketradisionalan mereka.
Bahwa, The Great Buddha Kamakura, merupakan sebuah Kuil untuk bersembahyang warga Jepang yang sebagian beragama Buddha, selain Shinto.
Bahwa, The Great Buddha Kamakura, selain untuk persembahyangan warga yang beragam Buddha, patung raksasa ini pun merupakan "harta karun" tradisi mereka sebagai bangsa besar yang menghormati sisi-sisi budaya mereka, walau mereka sudah sangat maju.
Bahwa, ketika aku dan anakku Michelle beserta temannya, bisa merenungkan arti sejarah. Minimal, sejarahku dengan papa dan keluargaku, untuk anakku Michelle lebih bisa menghormati dirinya sendiri, untuk dia kuliah, bekerja dan tinggal di Jepang.
Sayang sekali, aku belum menemukan foto-foto aku dan keluargaku pertama kali ke Jepang tahun 1982. Segera, fotonya ada, akan aku tempatkan di artikel ini.
By Christie Damayanti