Â
Tahu, tidak?
Selama jalan-jalan di seputaran pelabuhan Kobe, kursi rodaku sama sekali tidak "tersangkut". Artinya, semua permukaan tanah yang sebagian tertutup oleh berbegai macam conblok, dan sebagian lagi tertutup oleh pelapis keramik dan sedikir parquette, benar-benar mulus.
Bukan. Bukan berarti permukaan tanah yang dilapisi itu tidak ada perbedaan ketinggian, tetapi perbedaan-perbedaan itu sangat diperhatian oleh si pemilik. Baik pemerintah ataupun instansi.
Perbedaan ketinggian itu diperhatikan dengan cara memberikan ramp ringan, atau tambahan perbedaan jenis pelapis. Sehingga, kursi roda ajaibku benar-benar tidak pernah "tersangkut" apapun, walau aku tidak terlalu melihat apa yang ada di depanku.
Artinya lagi,Â
Ketika aku mengamati lingkungan sekitar pelabuhan dan mencatat yang aku perlukan dalam otakku, dan aku tidak memperhatikan jalan-jalan yang aku lalui di atas kursi roda, berarti sepanjang jalanku adalah sebuah pelabuhan yang sangat ramah disabilitas.
Ketika area luas di pelabuhan Kobe ini tidak dipasang jalur kuning, karena memang disabilitas netra tidak mampu melihat, sehingga mereka akan dibimbing melalui jalur-jalur khusus dengan pengaman. Tetapi, di ujung pelabuhan berbatasan dengan laut, mereka memasang pengaman kuning, bagi kursi roda supaya tidak jatuh.
Bahkan, ketika Baskoro mengajakku dan Michiko untuk naik Menara Merah atau Kobe Port Red Tower yang menjadi salah satu landmark kota Kobe, dan aku mengiyakan, aku benar-benar melihat dan merasakan betapa konsep "ramah disablitas" ada di semua lini dan di semua tempat dan fasilitas-fasilitas diAwalnya, aku agak ragu dengan tidak cukup besar nya Menara Merah itu. Dengan kursi roda ajaibku, pasti jika ada wisatawan yang mau naik ke atas, akan menjadi sempit. Lift nya pun sempit dan kecil. Kupikir, pengguna kursi roda tidak diijinkan naik ke atas, seperti di Menara Eiffel Paris.
Di Eiffel Tower Paris, aku hanya diijinkan untuk naik ke lantai 3 saja, sementara lift ke ujung menara, walau kursi roda tetap bisa sampai atas.Â