By Christie Damayanti
Sekarang ini, persaingan semakin 'gila'. Apapun persaingan itu. Termasuk tentang pendidikan. Mencari murid atau mahasiswa, persaingan pun melanda dunia.
Di Indonesia, khusus nya di Jakarta, tiap tahun selalu ada 'pameran pendidikan'. Tiap tahun waktu anak2ku masih SMA kebawah, sekolah mereka selalu mengadakan pameran pendidikan di akhir2 masa belajar mereka.
Tujuannya jelas, untuk yang kelas 6 SD, 3 SMP dan 3 SMA, akan mencari sekolah lanjutan. Bukan hanya di dalam negeri, tetapi bahkan dari luar negeri. Agen2 pendidikan menjamur. Dan mencari sekolah sebagai agen, menjadi nata pencagatian yang ok. Selain menjaring calon murud atau mahasiswa, si agen bisa banyak belajar tentang tempat atau negara yang dituju.
Bahkan agen bisa membukan diskusi gratis dengan calon orang tua murid atau mahasiswa. Dikumpulkan di suatu tempat, apakah di kantor si agen atau di kedutaan atau atase negara yang dituju. Tanya jawab dan mengajak calon murid atau mahasiswa nya, sampai mereja mengerti tentang sekolah atau universitas idanannya. Juga kehidupan dan biaya2 sekolah dan hidup nya.
Itu yang aku lakukan, ketika aku mengantar Michelle anakku, yang ingin sekolah, kuliah dan tinggal di Jepang. Ke Kedutaan dan ke beberapa tempat pameran pendidikan Jepang di Jakarta.
Akhirnya, setelah memilih sekolah atau univereitasnya, agen akan membantu calon murid atau mahasiswa, meminta dokumen2 yang dibutuhkan, mengurus visa belajar, membayar sekolah dan apartemennya sampai berangkat. Masuk ke apartenen atau asrama dan sampai mereka 'mandiri'.
Dan itu juga yabg dialami Michelle, bahkan agennya menjadi teman bagiku dan bagi Michelle dan teman2nya di Jepang. Tetap siap membantu untuk kehidupannya disana.
Konsep demikian menjadi viral di Jakarta, khususnya. Bahkan, beberapa sekolah atau universitasnya membuka "open house", untuk si calon melihat2 calon tempat belajarnya, diantar oleh orang tuanya. Tentu ada biaya tambahannya. Jika ke luar negeri, mungkin hanya orang tua dengan dana yang berlebih lah yang bisa melakukan ini.
***
Di Tokyo SkyTree, ada sebuah universitas yang bukah hanya berpameran untuk menjaring calon mahasiswa nya, dimana konsep berpameran itu hanya menempati trmpat tertentu dan dalan waktu yang singkat, tetapi universitas tersebut menyewa (atau membeli?) sebuah tempat di lantai 9 Solamachi SkyTree untuk sebagai KAMPUS TERBUKA.
Chiba Institute of Technology (Â Chiba kgy daigaku)Â adalah sebuah universitas swasta di Narashino, Prefektur Chiba, Jepang. disingkat Chiba kdai (Chiba kdai), Chiba k (Chiba k), kdai (kdai), sen kdai (sen kdai).
 Sekolah ini didirikan pada tahun 1942 di Machida, Tokyo. Pada tahun 1946 dipindahkan ke Kimitsu, Prefektur Chiba, mengadopsi nama sekarang pada saat bersamaan. Empat tahun kemudian, dipindahkan ke lokasi sekarang. Ini adalah universitas teknik swasta tertua di Jepang.
Perguruan tinggi ini didirikan sebagaikebijakan nasional untuk bangkitnya teknologi Asia. Tujuan pembangunan perguruan tinggi ini adalah kontribusi terhadap budaya dunia dan diseminasi pendidikan teknik kepada masyarakat Asia.
Universitas tersebut mengubah namanya menjadi "Chiba Institute of Technology (CIT)" pada tahun 1946 dan pindah ke kampus Kimitu. Empat tahun kemudian, dipindahkan ke lokasi sekarang.(Wikidepia).
***
Jelas ditulisakan bahwa Chiba Institute of Technology ini mengarahkan tujuan pembangunan nasional Jepang, untuk berkontribusi terhadap budaya dunia dan teknologi untuk masyarakat Asia. Jadi, KAMPUS TERBUKA Chiba ini, justru menjaring calon mahasiswa2 di tempat wisata, yaitu Tokyo SkyTree!
Untukku sendiri, sebagai seorang arsitek aku pun belum berpikir bahwa membangun sebuah "ruang pamer", atau kampus terbuka sebuah universitas untuk menjaring calon mahasiswanya di tempat wisata. Yang ada di otakku adalah memberikan fasilitas2 bagi universitas2 atau sekolah2 untuk menjaring calonnya di temoat2 umum yang beerhubungan dengan pendidikan, bukan di tempat wisata, bukan?
Tetapi Chiba Institute of Technology ini justru berpikir "out of the box", dan hailnya sungguh membuat aku sebagai turis dan sebagai orang tua yang mempunyai anak2 menuju perkuliahan, sangat tertarik untuk banyak diskusi dengan petugas2nya. Tetapi, sudah barang tentu, pilihan tergantung kepada anak2 itu sendiri, BUKAN kita sebagai orang tuannya.
Jenis robot karya mereka, salah satunya adalah robot mobil yang bisa berjalan sendiri
Konsep KAMPUS TERBUKA mereka sangat interaktif! Sebagian tempat itu untuk memamerkan karya2 mahasiswanya. 3x aku kesana tahun 2017 lalu, semuanya tentang robotik. Desain dan kecanggihannya terus berubah dan benar2 mencengangkan! Berbagai macam robotic, yang dipamerkan dengan kecanggihannya masing2.
Ada robot anjing yang bisa mematuhi perintah kita untuk berjalan, berguling, naik tangga, turun tangga dan sebagainya.
Ada robotic tentang memilih suatu benda dimana benda tersebut akan langsung tergambr dengan detail di layar di depan kita. Memilihnya lewat layar di atas meja.
Ada teknologi, tentang hutan dan kebun, yang jika kita scan dari sebuah buku, langsung tergambar semua dokumen yang kita butuhkan tentang hutan atau kebun tersenut, bahkan tanaman2nya secara detail.
Petugas/mahasiswa sedang memperagakan can tanaman dari buku, dan keluar semua data2 tanaman itu di dunia ......
Ada banyak teknologi dan aplikasi2 tentang games2 terbaru, karya dari institute ini. Dan semuanya mencengangkan!
Aplikasi2 canggih karya mahasiswa dan dosen2
Ketika aku bertanya oada Michelle, apakah dia ingin kuliah disini, memang Michelle menjawab tidak mau, karena impiannya sangat jelas, bukan kuliah IPA apalagi teknologi. Impiannya adalah belajar dan nantinya bekerja sambil bersenang2 di dunia travelling dan perhotelan, sambil bermusik.
Tetapi, Michelle sangat antusias dengan berdiskusi dengan mahasiswa2 dan petugas2 kampus terbuka ini, tentang robot dan desainnya. Detail sekali dia bertanya, bahkan mencoba banyak aplikasi2 yang ditawarkan pada kampus terbuka ini.
Selebihnya, michelle sangat atraktif untuk mencoba semua robotic ini. Menarik sekali. Dan aku justru lebih tertarik dengan cara Michelle berdiskusi dengan mahasiswa dan karya2 robotnya, dengan berbahasa Jepang .....
Ya, bahasa Jepang itu mempunyai dialek yang berbeda dan aku sering terkagum2 jika mendengar Michelle berbahasa Jepang dengan 'native speaker'. Apalagi dengan mahasiswa Jepang yang pintar.
Salah satu dosen, yang diskusi dengan Michelle berbahasa Jepang
Dibagian lain, ada beberapa kelas terbuka, dengagn mengandalan technology. Mahasiswa atau dosen2nya mengajarkan untuk umum, tentang robot, atau alam dengan layar interaktif. Juga ada beberapa kelas untuk anak2 dengan permainan2 interaktif technology, supaya anak2 tertarik untuk nantinya belajar tentang teknologi.
Sebuah langkah awal untuk menjadikan Jepang sebagai salah satu Negara terbesar technology di dunia! Dan aku sangat mengapresiasianya, terlepas dahulu mempunyai hubungan jelek dengan Negara kita .....
Kampus Terbuak Chiba Institute of Technology ini, berada di lantai 9 Solamachi SkyTree, bersanding dengan museum postal. Tanpa saling mengganggu, masing2 berlomba untuk mengajak, mencari dan mengedukasi masyarakat, khususnya bagi turis2 lokal maupun internasional yang ke SkyTree, untuk memberikan pemikiran2 baru tentang teknologi.
Yang akhirnya, teknologi bisa menjadi "sesuatu", yang mampu memudahkan kuta sebagai manusia untuk melakukan aktifitas sehari2.
Jika Chiba Institute of Technology ini bisa melakukansesuatu dengan "out of the box", mungkinkan ITB, UI atau UGM, universitas2 kebanggaan Indonesia, melakukannya juga? Tentu dengan pemikiran2 yang berbeda, sesuai dengan Negara kita ......
Sebelumnya :
- Ada Disney Store, Hello Kitty, Pokemon Center, Rilakkuma, Moomin, Totoro Bahkan "Caf Dog" di Tokyo SkyTree
- Tokyo SkyTree : Pohon Mengulir ke 'Negeri Raksasa'
- "Tokyo Banana", Souvenir Manis dari Jepang
- Dunia Wisata "Tokyo SkyTree"
- Sumida River di Asakusa, Â Area Terbesar Wisata di Tokyo
- 'Abu' Ribuan Orang Korban Gempa dan Serangan Perang Dunia II, di Yokoamicho Park
- "Samurai" di Ryogoku Park
- Museum Edo-Tokyo yang Menghormati dan Menggratiskan Tiket untuk Disabilitas
- Sepeda Jengki yang "Kekinian" sebagai Moda Transportasi di Jepang
- "Jalan Tikus" Ryogoku di Sisi Stasiun
- Menikmati Kehidupan di Ryogoku
- "Ryogoku", Dunia Pesumo Sejati Jepang
- Travelling di Jepang adalah 70% Kereta
- Dari Kinshicho ke Funahabashi Hoten
Mencoba Berbagai Moda Transportasi Keliling Tokyo - Sendirian, Keliling Tokyo Hanya dengan Kursi Roda 'Ajaibku'
- Funabashi, "Kota Belanja" untuk Turis yang Tidak Siap dengan Harga Mahal Jepang
- Funabashi, Konsep Kota IdealÂ
- Beranjak ke Kota Funabashi
- Bukan Sekedar Berkuda di Funabashi Hoten
- "Aku Ingin Tinggal di Rumah Nobita, yang Ada Doraemon", dan [Hampir] Menjadi Kenyataan
- "Negeri Impian" Funabashi HotenÂ
- Sekali Lagi, Mengapa Funabashi Hoten?
- 'Funabashi-Hoten', Kota Kecil Awal Sebuah Kemandirian
- Denyut Kehidupan di Nishi Funabashi sebagai "Kota Transit"
- Awal Perjuangan untuk Menaklukan Jepang di Nishi Funabashi
- 'Nishi Funabashi', Sebuah Kota Kecil Tempat Hatiku Berlabuh
- Mengapa Chiba?
- Sebuah Negara dari 'Antah Berantah' dengan Bahasa dan Tulisan Cacingnya, Duniaku yang Baru .....
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H