Pekerja2 muda kaum disabilitas, memang harus ‘dilatih’. Bukan hanya dilatih secara fasilitas2 perusahaan itu pastinya tidak full ‘ramah disabled’, tetapi juga dilatih untuk bekerja, dimana secara manusiawi pekerja di perusahaan2 umum adalah pekerja2 non-disabilitas, sehingga kegiatan bekerja pun perlu terlatih.
Misalnya,
Jika seorang tuna netra bekerja di perusahaan sebagai penerima telpon, apakah pesawat telponnya ada fasilitas huruf Braille nya?
Jika seorang disabled dengan kursi roda bekerja di ruang lantai 2, adakah lift yang bisa membawa dia naik ke atas? Atau mungkin kah dia bekerja di tantai 1 saja?
Fasilitas2 dan kantor ‘ramah disabilitas’ in lah yang akan membuat ‘simbiosis mutualisma’ ini tercapai untuk kehidupan saling berinteraksi dan saling menguntungkan.
Bagi perusahaan dan bagi penyandang disabilitas yang sudah sama2 ingin saling berintearksi serta ingin saling berbagi, mungkin bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Melakukan pelatihan2 khusus bagi penyandang disabilitas, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran bagi seluruh elem masyarakat, termasuk pemilik perusahaan, untuk sebuah tercapainya dunia kerja yang inklusif.
 Sebuah perusahaan yang sudah mampu untuk menerapkan kepedulian bagi penyandang disabilitas lewat perekrutan pekerja disabilitas, tentu perusahaan tersebut harus mulai memperbaiki fasilitas2 nya. Mungkin tidak perlu semua titik di peruahaan tersebut memperbaiki fasilitas2nya.
Tetapkanlah titik2 tertentu dimana calon pekerja disabilitas bisa berinteraksi, dan tempatkanlah pekerja disabilitas tersebut sesuai dengan jenis pekerjaannya.
Misalnya,
Kemungkinan besar, pekerja disabilitas tidak harus kelapangan (proyek konstruksi), bukan? Sehingga bagian ini tidak harus diperbaiki untuk fasilitas bagi pekerja disabilitas.
Untuk pekerjaan di pabrik, letakkan lah mesin2 pabrik sesuai dengan posisi standard. Misalnya, antara mesin satu dengan yang lainnya, harus agak lebar, untuk pekerja disabilitas kursi roda.