By Christie Damayanti
“Pembangunan yang berkelanjutan kah, kota Jakarta?”
Ini adalah pertanyaan yang mendasar bagi Jakarta. Karena, seperti yang aku sering katakan di artikel-artikelku tentang Jakarta, bahwa kota tercinta kita ini akan terus ‘tenggelam’, jika kita tidak mau peduli dalam pembangunan secara fisik bangunan, atau termasuk secara sosial dalam masyarakat kota.
Mungkin sejak sekitar 10 tahun belakangan ini, para arsitek perkotaan sudah sadar dalam membangun kota yang berwawasan lingkungan. Konsep ideal bagi arsitek, pasti akan membuat Jakarta lebih baik.
Konsep IDEAL, lho!
Tetapi dalam kenyataannya, konsep ideal itu hanya berada dalam dunia perkuliahan. Dulu, kami mahasiswa arsitektur, harus mendesain konsep-konsep yang sungguh ideal untuk bangunan-bangunan bahkan perkotaan. Nilai-nilai tugas dan ujian akan mendapat bagus, jika konsep ideal itu di lakukan, selain tentunya konsep ideal itu berkesinambungan dengan desain-desain artistik dan ciamik!
Begitu juga ketika aku mengajar sebagai dosen di universitas atau kuliah-kuliah umum di beberapa universitas. Sebagai arsitek, sku mengajarkan sebuah idealisme yang tinggi untuk membangun sebuah tatanan desain bagi pribadi, perkotaan bahkan bagi dunia.
Tetapi, bagaimana hasilnya?
Ketika aku sebagai mahasiswa arsitektur yang lulus dengan nilai cukup tinggi dan dari awal selalu bekerja di perusahaan besar sebagai arsitek, kadang kala membuat aku tidak mampu untuk menjalankan idealismeku dalam mendesain. Begitu juga ketika mahasiswa-mahasiswaku lulus dengan hasil yang membanggakan pun, ternyata belum mampu untuk bisa menjalankannya, walau aku berusaha untuk terus mengingatkannya.
Karena yang terjadi adalah bahwa semuanya menjadi ‘bisnis’. Membangun, memang untuk penghidupan. Membangun rumah adalah untuk tempat tinggal. Membangun seolah adalah untuk tempat transfer ilmu. Atau membangun rumah sakit adalah untuk mengobati masyarakat.
Tetapi membangun pun sangat kental berhubungan dengan bisnis. Membeli rumah adalah lewat pengemvangun atatu secara pribadi lewat desain eorang arsitek yang dibangun oleh jasa konstruksi. Ini jelas ada bisnis didalamnya. Masing-masing mencari keuntungan. Bagi arsitek dan pemborong, tentu membutuhkan uang sebesar-besarnya. Dan bagi pembeli, tentu membutuhkan rumah yang senyaman-nyamannya.
Dan karena ada BISNIS didalamnya, tentunya akan berdampak lain. Bahwa untuk membangun rumah yang ideal, tentu membutuhkan material-material yang terbaik yang berwawsan lingkungan. Tetapi material yang baik dan berwawasan lingkungan itu lebih mahal dari material-material yang semata-mata untuk lebih cantik secara desain, tetapi tidak peduli dengan lingkungan.
Dari harga yang berbeda, yang tidak berwawasan lingkungan, tentu akan berdampak dengan lingkungan. Dan bisa dibayangkan hasilnya. Mungkin memang dampaknya tidak akan terlihat dalam waktu dekat, tetapi akan berdampak jangka panjang, di dunia generasi berikutnya.
Lalu, ketika kita di generasi sekarang ini, masih tidak mau peduli, seperti yang aku tuliskan di artikelku berjudul “Toh, Kita Tidak Hidup Sampai 100 Tahun ” , akhirnya dunia semakin bobrok dan Jakarta akan menghilang dari peredaran dunia, dan anak cucu kita akan tidak bisa hidup dengan nyaman.
Ini adalah kenyataannya! Masih banyak kota-kota dunia yang belum focus untuk mendesain perkotaannya sesuai dengan wawasan lingkungan. Terlebih adalah untuk negara-negara berkembang serta negara-negara yang baru bisa memberikan kemerdekaannya, yang smerdekadalam semua hal.
***
Kearifan tradisional negara kita Indonesia ini, sebenarnya sedikit banyak mampu untuk mengembangkan idealisme dalam membangun perkotaan yang berwawasan langkungan. Misalnya, dengan membangun perumahan dari kayu seperti rumah panggung. Atau mendesain atap rumah masih dari tanah liat. Atau juga memperhatikan lansekap rumah dengan banyak menanam pohon-pohon yang bisa menghasilkan hijau daun (klorofil) serta tanahnya bisa menyerap air.
Itu beberapa contoh membangun rumah yang berwawasan lingkungan.
Bukan seperti sekarang yang justru menutup semua lahan tanah dengan beton sehingga air tidak terserap. Tidak menanam pohon-pohon dan atap rumahnya dengan asbes atau genteng keramik yang berglasur. Karena material2 ini rentan dengan sebuah ketidakpedulian.
Dari kacamata perkotaan, banyak pengembang perkantoran lebih memilih menjual full lahan untuk kantor, ketimbang mendesain lansekap. Hijau daun hanya dari pot-pot yang lama kelamaan justru tidak di rawat oleh menejemennya, sehingga pohon-pohon mati dan rusak. Wajah perkantoran itu semakin berantakan jika manajemen semakin mencari lahan-lahan sempit disekitar kantor itu untuk dibangun lagi tanpa peduli lingkungan, bahkan mungkin tidak mempunyai ijin. Itu yang aku dapatkan dari hasil survei di beberapa perkotaan di Indonesia, termasuk Jakarta.
Energi kota Jakarta, terhisap sampai habis. Setelah itu, kota ini ‘ditinggalkan’. Sudah sepatutnya, sistem pembangunan Jakarta diubah. Peraturan untuk membangun harus benar-benar ditaati, tanpa berpikir untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Dan peraturan-peraturan itu bukan hanya membangun bangunan saja, tetapi semua yang berhubungan dengan fisik Jakarta.
Misalnya, tentang pedestrian. Tentang kaki lima. Tentang JPO (Jalanan Penyeberangan Orang), dll. Dan penerapan ‘pembangunan yang berkelanjutan’ atau sustainable development ini lah yang masih sangat susah untuk Indonesia, khususnya Jakarta. Apalgi jika ingin mencapai tingkat yang lebih tinggi setara negara maju dengan menerapkan teknologi canggih, untuk mendukung konsep ini.
Guideline, ini memang belum digarap. Pembangunannya masih seputar ‘master plan’ yang kaku. Menurutku, bukan hanya sekedar master plan saja, tetapi kita membutuhka ‘strategic plan’, yang komprehensif. Karena selama ini, Jakarta tidak menerapkan desain perkotaan yang komprehensif.
Bahkan ketika ada masalah tentang laalulintas, misalnya, sousinya bukan hhang komprehensif, dilihat dari konsep perkotaan, tetapi hanya sekedar memindahkan masalahnya.
Mau contoh?
Jika disebuah putaran di jalan A, macet karena banyak yang memutar. Akhirnya, putaran itu ditutup tetapi dibuka lagi kira-kira beberapa ratus meter dari putaran pertama , bisa dibayangkan akibatnya?
Karena jika mendesain sebuah ruas jalan dengan lalu lintasnya, harus dipikirkan tentang buka-bukaannya, seperti putaran atau pemberhentian. Dan ini tidak sesaat saja, melainkan di desain dari awalnya.
Ya, Jakarta memang sebuah ‘kota tumbuh’, yang memang sangat rentan tentang desain perkotaannya. Mampukah Jakarta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H