Dan karena ada BISNIS didalamnya, tentunya akan berdampak lain. Bahwa untuk membangun rumah yang ideal, tentu membutuhkan material-material yang terbaik yang berwawsan lingkungan. Tetapi material yang baik dan berwawasan lingkungan itu lebih mahal dari material-material yang semata-mata untuk lebih cantik secara desain, tetapi tidak peduli dengan lingkungan.
Dari harga yang berbeda, yang tidak berwawasan lingkungan, tentu akan berdampak dengan lingkungan. Dan bisa dibayangkan hasilnya. Mungkin memang dampaknya tidak akan terlihat dalam waktu dekat, tetapi akan berdampak jangka panjang, di dunia generasi berikutnya.
Lalu, ketika kita di generasi sekarang ini, masih tidak mau peduli, seperti yang aku tuliskan di artikelku berjudul “Toh, Kita Tidak Hidup Sampai 100 Tahun ” , akhirnya dunia semakin bobrok dan Jakarta akan menghilang dari peredaran dunia, dan anak cucu kita akan tidak bisa hidup dengan nyaman.
Ini adalah kenyataannya! Masih banyak kota-kota dunia yang belum focus untuk mendesain perkotaannya sesuai dengan wawasan lingkungan. Terlebih adalah untuk negara-negara berkembang serta negara-negara yang baru bisa memberikan kemerdekaannya, yang smerdekadalam semua hal.
***
Kearifan tradisional negara kita Indonesia ini, sebenarnya sedikit banyak mampu untuk mengembangkan idealisme dalam membangun perkotaan yang berwawasan langkungan. Misalnya, dengan membangun perumahan dari kayu seperti rumah panggung. Atau mendesain atap rumah masih dari tanah liat. Atau juga memperhatikan lansekap rumah dengan banyak menanam pohon-pohon yang bisa menghasilkan hijau daun (klorofil) serta tanahnya bisa menyerap air.
Itu beberapa contoh membangun rumah yang berwawasan lingkungan.
Bukan seperti sekarang yang justru menutup semua lahan tanah dengan beton sehingga air tidak terserap. Tidak menanam pohon-pohon dan atap rumahnya dengan asbes atau genteng keramik yang berglasur. Karena material2 ini rentan dengan sebuah ketidakpedulian.
Dari kacamata perkotaan, banyak pengembang perkantoran lebih memilih menjual full lahan untuk kantor, ketimbang mendesain lansekap. Hijau daun hanya dari pot-pot yang lama kelamaan justru tidak di rawat oleh menejemennya, sehingga pohon-pohon mati dan rusak. Wajah perkantoran itu semakin berantakan jika manajemen semakin mencari lahan-lahan sempit disekitar kantor itu untuk dibangun lagi tanpa peduli lingkungan, bahkan mungkin tidak mempunyai ijin. Itu yang aku dapatkan dari hasil survei di beberapa perkotaan di Indonesia, termasuk Jakarta.
Energi kota Jakarta, terhisap sampai habis. Setelah itu, kota ini ‘ditinggalkan’. Sudah sepatutnya, sistem pembangunan Jakarta diubah. Peraturan untuk membangun harus benar-benar ditaati, tanpa berpikir untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Dan peraturan-peraturan itu bukan hanya membangun bangunan saja, tetapi semua yang berhubungan dengan fisik Jakarta.
Misalnya, tentang pedestrian. Tentang kaki lima. Tentang JPO (Jalanan Penyeberangan Orang), dll. Dan penerapan ‘pembangunan yang berkelanjutan’ atau sustainable development ini lah yang masih sangat susah untuk Indonesia, khususnya Jakarta. Apalgi jika ingin mencapai tingkat yang lebih tinggi setara negara maju dengan menerapkan teknologi canggih, untuk mendukung konsep ini.