Kota Rome seperti datar2 saja secara geografi. Ketinggian rata2 kota memang tidak sampai berbukit2. Tidak seperti kota2 di negara Swiss yang berada di kaki pegunungan. Tetapi ternyata tidak demikian. Kota Roma pun mempunyai ketinggian di beberapa titik, cukup besar. Bahkan di area Circus Maximus, merupakan lembah yang memang tidak terlalu curam, sebagai bagian dari studio bagi lomba berkuda pada jamannya.
Juga di beberapa titik, bangunan2 nya disesuaikan dengagn ketinggian tempat itu, sehingga ada beberapa area dimana bangunan2nya harus naik beberapa tangga, atau turun beberapa tangga.
Ternyata dari konsep analisa bangunan secara arsitektural, pemerinta kota Roma sejak jaman Romawi kuno pun, sudah mampu untuk “tidak seenaknya untuk cut & fill”, yang bisa membuat kota seakan2 rata (seperti Jakarta). Dan itu justru susah untuk melihat kontur dan kemiringan. Susah untuk mendesain, bagi jalur air menuju laut …..
Ketika kami selalu berkeliling dalam bus wisata kami, untukku selain mengamati detail bangunan2 yang ada, aku pun selalu mengamati desain perkotaannya. Bahkan yang berhubungan dengan social permasyarakatan kota tua nya (bukan Roma modern), untuk mempelajari, apa makna yang tersembunyi dari desain2 yang ada di Romawi kuno.
Ada sebuah titik wisata yang cukup terkenal, yang berada di atas bukit2 (yang memang tidak terlalu tingg), tetapi cukup menarik untuk diamati. Ada sebuah gereja cantik di atas bukit, dan dari bus kami, kami harus menengadahkan wajah kami untuk meluhat gereja itu.
Gereja dari Santissima Trinita dei Monti, sering disebut hanya dengan Trinita dei Monti adalah Gereja Katolik Roma dari akhir Renaissance di Roma. Posisinya cukup tinggi, menjulang dengan 2 menara gereja, indah ketika bunga2 bermekaran di sisi jalan menuju gereja tersebut, dimusim semi.
Gereja ini di desain pada akhir masa Renaissance dan ditahbiskan oleh Paus Sixtus V, dan gereja ini terhubung dengan Gereja Sistina, Piazza della Trinita dei Monti serta Piazza Barberini. Perancangnya, tidak terlau dipastikan tetapi seorang pengikut Michaelangelo bernama Giacomo della Porta, yang mungkin yang mendesainnya.
Tepat di depan gereja ini, bus kami berhenti cukup lama, dan naik turunnya wisatawan dari bus kami dan beberpa bus wisata di depan dan belakang kami, pun dengan cepat berganti. Dan karena memang titik wisata ini ternyata cukup banyak peminatnya, kami pun antri untuk turun atau naik dari luar.
Begitu juga aku, dengan kursi roda pun harus mengantri, karena memang tidak mudah untuk mendorong kursi roda dari dalam bus. Walau mereka ingin membantu kuri rodaku untuk segera turun, pun memang mereka yang harus turun lebih dahulu …..
Dan dalam antrian itu, justru aku bisa sedikit leluasa mengamati gereja itu di atas bukit, lebih seksama …..
Ini bukan basilica. Seperti yang sudah aku jelaskan pada beberapa artikel lalu, basilica bisa merupakan sebuah gereja, tetapi konsep awalnya lebih kepada deain arsitekturla nya sendiri, sedangkan gereja memang lebih mementingkan untuk ibadahnya. Basilika justru lebih mementingkan cantiknya bangunannya, dan jaman itu, sebuah basilica juga belum tentu berfungsi sebagai gereja.
Tetapi Trinuta dei Monti ini benar2 sebuah gereja, yang sejak awal untuk beribada, sejak abad ke-16. Detail dan rancangannya memang adalah sebuah gereja dengan menara gerejanya. Tidak terlalu banyak detil secara arsitektural, tetapi konsep Renaissance memang kuat sekali.
Tetapi karena gereja ini berada di ujung teratas dari sebuah bukit kecil kota Roma, yang terhubung dengan tangga2 Spanish (mungkin ratusan tangga megah), membuat aku langsung lemas karena aku pasti tidak akan mampu menaikinya, dan tidak ada ramp untuk mendorong kursi rodaku ….
Sekali lagi, kota Roma sangat menghargai peninggalan2 sejarahnya, apalagi kota Romawi kuno merupakan situs dunia selarang ini. Sehingga, pemerintah Roma modern benar2 menjaga kotanya untuk merestorasi dengan bentuk2 dan material2 sebisa mungkin tidak berubah.
Alhasil, untuk menaiki tangga Spanish menuju Trinita dei Monti ini, konsep ratusan anak tangga di jaman itu tidak mempunyai ramp (karena dulu belum ditemukan konsep kursi roda). Dan akirnya, di jaman modern ini walau Roma cukup ramah terhadap disabled, tetap harus konsekwen untuk tidak membangun ramp bagi pengguna kursi roda ….. maaf-maaf saja, hihihi …..
Sebenarnya aku sangat tahu konsep desain perkotaan dan sejarahnya, tetapi tetap saja aku cukup kecewa karena aku tidak mampu mengapai gereja itu. Tetapiaku masih bisa mengamati bagian luar Trinita dei Monti …..
***
Ratusan anak tangga yang di desain cantik dengan pot2 bunga yang akan mekar di musim semi, di desain oleh Domenico Fontana. Dan ujungnya, 2 buah anak tangga melingkar sampai pintu masuk Gereja Trinita dei Monti, dan disinilah pemandangan spektakuler dan terkenal (katanya, karena aku tidak mampu naik kesana). Dan di bagian bawah setiap anak tangga, mempunyai kumpulan kolom2 komposit kuno dari abad ke-16.
Apalagi di Hari Minggu, yang mempunyai beberapa waktu ibadah. Sehingga aku dapat membayangkan, ketika lonceng2 banyak gereja di kota Roma (bahkan Roma modern sekarang ini), lonceng2 itu berdentang2 berirama, memangggil2 ratusan umatnya, sesuai dengan jam ibadahnya …..
Kolom2 Doric yang lebih sederhana dari Corinthian, menjelma sebagai tiang2 penyangga kedua menara gere ini dengan architrave2 lengkung, membingkai ‘jendela’ nya.
Dan disekeliling gereja ini, terdapat beberapa chapel (gereja kecil, yang biasanya hanya untuk berdoa, bukan untuk berkumpul umat, karena hanya untuk beberapa belas orang saja). Seperti Chapel Our Lady of Sorrows, Chapel of Immaculate, Chapel of St Joseph, Chapel of Mary Magdalen, Chapel of Sacred Heart, Chapel Queen of Heaven dan Chapel St Magdalen Shopie, serta beberapa chapel2 yang lebih kecil disekelilingnya.
Aku cuma sedikit berpikir, mengapa begitu banyak chapel di sekeliling gereja ini, seentara biasanya chapel sendiri aka nada di tempat2 yang belum ada gereja atau susah terjangkau oleh orang2 yang bisa membangun gereja. Chapel aka nada, awalnya hanya untuk berdoa, tetapi chapel sendiri akan bertumbuh sebagai gereja jika umat terus bertambah, dan bersama chapel akan diperbesar sebagai gereja.
Jadi,mengapa belasan chapel bahkan puluhan dengan chapel2 yang lebih kecil, berada di sekitar Gereja Trinita dei Monti ini, sedangkan tidak susah koq jika umat datang langkung ke gereja ini?
Analisaku sebenarnya sederhana. Mungkin juga analisaku salah. Tetapi mungkin bisa sedikit dibenarkan, ketika sebuah gereja besar terletak di atas bukit, dimana untuk ke gereja tersebut harus menaiki ratusan anak tangga, dimana umat pun bukan semua adalah orang2 muda dan sehat.
Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa yang berdoa dan bergereja di banyak negara sebagian besar merupakan orang2 lansia. Dimana,lansia itu termasuk orang2 yang berkebutuhan khusus.Banyak juga keluarga2 muda dengan anak2 kecil, dimanaanak2 kecilpun termasuk “berkebutuhan khusus”, karena belum mampu untuk banyak hal.Juga dengan umat yang berkursi roda, penyandang tuna netra atau tuna2 yang lain, yang tidak mampu untuk banyak hal.
Bagaimana mereka mampu menaiki ratusan anak tangga untuk masuk ke gereja?
Sehingga, bagi umat yang tidak mampu menaiki ratusan anak tangga ke gereja Trinita dei Monti ini, dimana adalah sebagian merupakan umat lansia atau disabled, mereka akan memilih beribadah atau berdoa di chapel2 di sekelingnya, yang tidak perlu menaiki ratusan anak tangga.
Dan belasan chapel di sekeliling (atau tepatnya, berada di ujung terbawah gereja), menjadi bagian dari tempat berdoa umat2 yang tinggal di sekitar ini, dan yang tidak mampu menaiki ratusan anak tangga …..
Gereja Trinita dei Monti….. sebuah gereja yang akhirnya ternyata tidak mampu sebagai tempat ibadah bagi umat yang berkebutuhan khusus ……
Sebelumnya :
Antara ‘Kota Tua’ Eropa dan Kaum Disabilitas
Benteng Pertahanan ‘Porta San Paolo’, Penjaga Romawi Kuno bagian Salatan
“Piramide di Caio Cestio”, Fungsi Makam Nubia Jaman Romawi Kuno
Hari Minggu, Ibadah dan Wisatawan di Eropa
Arti Para Martir “Tanpa Wajah”, Jam Pasir dan Basilica St Maria dei Angeli di Roma
Basilica St Maria dei Angeli di Roma, Sebuah Gereja “Tanpa Wajah”
Oculus, Sebuah “Mata” Menuju Angkasa bagi Pantheon
Romantisme ‘Trevi Fountain’, Menghasilkan 3000 Euro atau 49 Juta Rupiah Setiap Hari!
“Kamp Penyiksaan” di Sebuah Makam Kaisar Romawi Kuno
Keunikan Nama dan ‘Bangunan Bulat’ Castel Saint’Angelo
Dan ‘Circus Maximus’ pun Tetap Diam Seribu Bahasa …..
Suasana Magis dan Erotis “Circus Maximus” di Kota Roma
Dentang Lonceng di ‘Basilica Santa Maria Maggiore’
“L’Arco di Constantino”, Sebuah Gerbang Saksi Sejarah Besar
Romantisme ‘Teatro di Marcello’
‘Tampio di Vesta’ : Kuil Pemujaan di Roma Modern
Sejarah Terkelam bagi Arsitektur Dunia lewat ‘Colosseum’
“Setan” itu Berjubah Rakyat Romawi di abad Sebelum Masehi
‘Catacombe’ Jaman Kekaisaran Roma : Lorong Bawah Tanah Tempat Jenazah yang ( Katanya ) Teraniaya
Ketika Singa-Singa itu Mencabik-cabik Mereka, dan Gladiator itu ‘Menghabisi’ Lawannya …..
Cerita Roh-Roh Bergentayangan di Seputar Colosseum
Konsep Tata Kota Roma, ‘The Ancient City’, dalam Arstektur Klasik dengan Special Lightingnya
“Basilica St.Pieters” : Gereja Terbesar dalam Sebuah Negara Terkecil di Dunia
Selamat Datang di ‘Vatican City’
Fontana del Tritone : Dewa Luat ‘Menguasai’ Kota Roma
Piazza Barberini, Hotel Bernini, dengan Segala Fasilitas Arsitekturnya
“La Botte Rome”, Italiano Restorante
Mengeksplore Roma, Mulai dari ‘Sistina Rue’
Bandara Dunia, ‘Leonardo da Vinci’, Aku dan Kaum Disabilitas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H