Megapolitan Jakarta, ( ini tentu aku tinjau dari segi fisik Jakarta). Pendekatan ku tentang fisik Jakarta adalah deri perspektif lingkungan ( ekologi ) dan arsitektur. Bahwa Jakarta Megapolitan, membuat factor arsitektur lingkungan ‘dikorbankan’ untuk proses megapolitanisasi.
Karena kota Jakarta yg megapolis adalah sebuah “kota raksasa” pasti akan menyumbang kerusakan arsitektur lingkungan serta ‘kerusakan’ manusianya, warga Jakaarta.
Misalnya, sekarang Jakarta masih sebagai kota metropolitan, sudah menumbang masalah sampah, ekspolitasi air tanah yg berlebihan, polusi udara dan suara, pembebanan tanah dengan munculnya bangunan2 super tinggi yang tidak ada ‘feasibility study’nya, bermunculan daerah ’slum’ dan sebagainya. Bagaimana dengan jika Jakarta sebagai kota megapolitan?
Jadi, itulah sebabnya, banyak konsep2 Jakarta yg mengetengahkan tentang kearifan lokal dalam manajemen kota dan lingkungan. Konsep2 Jakarta yang ku buat, mungkin bisa menjadi konsep ’semangat untuk pembangunan yg berkelanjutan’ terhadap lingkungan fisik Jakarta, menjadikan Jakarta kota yg ‘berkarakter’.
Jakarta yg megapolis, berefek membawa Jakarta menuju krisis lingkungan, juga krisis warga Jakarta. Beberapa barometer Jakarta menuju krisis lingkungan antara lain :
- Polusi udara, air dan suara
- Lingkungan fsik pemukiman
- Ancaman banjir
- Hilangnya lahan ruang terbuka hijau dan paru2 kota
- Tidak terkontrol nya bangunan2 besar dan tinggi, serta pembangunan fisik yang menyelubungi Jakarta dengan beton
Untuk menjadikan megapolitan Jakarta yang tetap bisa menjadikan‘Jakarta kota megapolis yg berkarakter’, adalah ‘kebijakan lokal’ yg berperan sebagi solusi yg mendasar, yaitu kepedulian warga Jakarta.Jika warga Jakarta tetap tidak bisa menunjukkan kepeduliannya untuk bersama2 menuju visi dan misi Jakarta (dari masyarakat untuk masyarakat), akan ada ancaman, yaitu ancaman kehidupan kita di Jakarta, seperti diatas.
Pengembangan “sense of belonging” dari warga kota ini memang yang ingin kutekankan sebagai bagian dari reformasi mental untuk Jakarta. Karena untuk mengacu pada kepedulian warga kota, memang harus benar2 mengedepankan ‘suara hati’ .
Karena jika kita tetap mengeraskan hati kita untuk membangun kota, yang ada adalah, pembangunan yang egois, yang hanya mengacu kepada keuntungan pribadi atau kelompoknya, untuk dapat menikmati Jakarta yang sesuai dengan keinginannya sendiri atau golongan tertentu ….. bukan Jakarta sesuai dengan visi dan misi nya …..
Sebelumnya :
Bom Itu Tinggal Meledak Saja …..