By Christie Damayanti
Sebelumnya :
Keanekaragaman Jangan Sekali-Sekali Diseragamkan!
‘Peluang’ Jakarta Itu Ada dimana?
‘Pukulan’ bagi Pemukiman Jakarta
Reformasi ‘Identitas Kota’ untuk Jakarta
Siapa yang Memanipulasi Jakarta?
Sindrom ‘Mimpi untuk Jakarta’ : Metropolitan dan Kemewahan atau Kesejahteraan?
Jakarta yang ‘Terluka’ dan ‘Bernanah’
***
Lagi tentang Jakarta sebagai tempat bermukim.
Jika bicara tentang warga yang mapan, tentu tidak ada masalah. Apalagi warga yang berlebihan. Mau tinggal dimanapun, sama sekali tidak bermasalah. Tetapi tidak dengan warga kota yang pas2n atau bahkan warga kota yang untuk makan sehari2 pun tidak bisa.
Mereka pastinya, aka tinggal atau membangun gubug2 kumuh, menjadikan daerah itu ‘slum’ dengan gaya baru. Menduduki tanah pemerintah, tetapi tetap “membayar pajak” lewat oknum2, sehingga mereka merasa bahwa tanah itu “miliknya”. Itu pilihan ‘gaya baru’, bagi warga kota yang tinggal di Jakarta, tanpa bersusah payah membeli tanah atau membangun rumah yang layak, dan jika digusur mereka akan beramai2 demonstrasi untuk “menagih” kepemilikan tanah itu …..
Era kepemerintaan sebelum pak Ahok, terlihat tidak terlalu peduli dengan pemukiman. Peduli sih … walau pada kenyataannya aturan2 pemerintah kota sangat tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Ditambah peraturan2 dan larangan2 menempati tanah negara untuk bermukim, ternyata lebih tidak mungkin lagi …..
Selama lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, sampai saat ini era pak Ahok, adalah yang merevitalisasi kan tanah2 negara dari pemukiman kumuh? Atau adakah pemerintah dulu menggusur mereka dengan jaminan perumahan baru bagi mereka?
Yang ada adalah justru membiarkan oknum2 untuk “menarik pajak” bahkan memberikan fasilitas listrik untuk mereka, sehingga mereka semakin nyaman tinggal di tanah negara, walau tetap dalam keadaan kumuh.
Ketika Era pak Ahok ini, justru mulai kulihat titik terang untuk reformasi kota Jakarta. Penggusurah semakin ‘gila2an’, bukan karena era ini tidak sayang kepada warga yang dibawah gasis kemiskian, tetapi justru era ini sangat gencar dengan memberikan rumah baru di banyak rusunawa di semua pelosok Jakarta.
Tetapi ternyata inilah kenyataannya. Warga itu justru merasa “dicabut” sampai keakar2nya. Dipaksa untuk keluar dari kepompongnya yang ‘nyaman’ dan mereka merasa tidak suka tinggal di rumah baru, walau fasilitas lengkap, anak2 bisa sekolah dengan bus sekolah bahkan sewa unitnya sangat murah ….
Tidak tahu diri? Itu lah seakan yang terjadi …..
Ternyata untuk memindahkan merea dari pemukiman kumuh yang biasa mereka tempati pun tidak hanya sekedar itu saja …..
Mereka memang membuuhkan tempat tinggal yang layak, tetapi mereka juga butuh untuk lapangan pekerjaan. Memang tidak mudah. Yang sangat krusial adalah tentang REFORMASI MENTAL …..
Ya ….. ketika pemerinta kota sudah mulai dengan kepeduliannya, dengan menggusur pemukiman kumuh di tanah negara, dan kemudian menggantinya dengan unit2 rusunawa, seharusnya mereka mulai juga memikirkan rencana kedepannya.
Harus berpikir, bagaimana bisa mencari uang. Mungkin karena mereka tidak mempunyai ijazah atau skill tertentu, pastinya harus mencari akal untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri. Paling tidak, bisa memenuhi kehidupan diri dan keluarganya ….
REFORMASI MENTAL warga kota, pastinya untuk lebih meningkatkan reformasi Jakarta. Karena jika warga kota masih manja dan maunya enaknya saja (harus selalu di tuntun pemerintah untu melakukan kebutuhan diri sendiri), bagaimana kota Jakarta ‘mereformasi’ diri sendiri?
Sekarang, reformasi mental warga kota dengan masalah selanjutnya,
Reformasi mental warga Jakarta bekan hanya tentang pemukiman saja. Reformasi mental warga kota juga harus sampai di semua lini kehidupan. Membuang sampah sembarangan, misalnya.
Cerita ‘buang sampah’ itu, bukan cerita baru. Dari jaman kecil sampai sekarang, sekolah mengajarka itu. Bahkan agama pun mengajarkan tentang ‘kebersihan bagian dari imen’. Tetapi bagaimana kenyataannya?
Warga kota “dididik” untuk membuang sampah sembarangan. Mengapa?
Karena aku adalah salah satu pengamat perkotaan, aku tahu dengagn pasti bahwa pemerintah kota tidak banyak menempatkan tempat sampah di sepanjang jalan kota. Banyak titik2 yang justru tempat berkumpul warga, jarang tempat sampah. Kalau ada pun, tempat sampah sudah rusak atau sampah berserakkan dimana2 tanpa petugas yang membuangnya.
Lalu, ketika aku mau membuang sampah dan tempat sampah penuh dan bau, berarti aku “dipaksa” untuk membuang sampah dimanapun, kan? Sampai aku selalu bawa sampah itu ke mobil, masukkan ke kantong plastic untuk di buang di rumah ….
Lebay? Tidak!
Kadang aku berpikir banyak tentang reformasi mental. Itu bukan hanya kita2 saja, tetapi SEMUA ORANG, baik pemerintah dan warga kota, bahkan warga negara. Bapak Jokowi sudah menyatakan itu. Dan aku meniliknya lewat kacamata warga Jakarta, untuk reformasi kota.
Belum lagi tentang kepedulian ruang hijau untuk paru2 kota. Lah ….. ini kan untuk kesehatan warga kota, tetapi pemerintah kota dengan warganya justru lebih memilih ruang terbuka untuk penyerapan, dijadikan ruang2 yang bisa terjual ……
Jadi, untuk mau mereformasi kota, memang harus mulai dengan reformasi mental. Dari ujung atas pemerintahanvsampai ujung bawah warga kota. Termasuk warga negara…..
Reformasi kota? Mulilah dengan REFORMASI MENTAL ……
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H