Konsep bangunan di foto diatas ini, sesuai dengan bangunan Eropa, yang tidak memunculkan kanopi2 serta treitisan2 untuk atapnya. Mengapa? Karena bangunan Eropa yang terletak di benua 4 musim, tidak memounyai curah hujan yang tinggi. Sehingga, jendela2 nya anya ‘bersembunyi’ dari beberapa centimeter kedalam dinding.
Dingin bangunan, bisa dikatakan rata, tanpa sambungan2 untuk kanopi2. Mereka “lupa”,ketika mereka tinggal di Semarang, di sebuah kota di Indonesia yang mempunyai curah hujan tinggi …..
Atap bangunan di kiri atas, benar2 atas banguan Belanda, dengan kemiringan 45 derajad, walau dindingnya tanpa ukiran2 Ghotic atau Renaissace.
Untuk foto yang diatas ini, lebih mencerminkan bangunan2 terapan dari bangunan khas Eropa, ditambahkan dengagn desain arsitekur Asia.
Foto kiri atas, awalnya ber-desain bangunan Belanda. Tetapi di jamannya itu sendiri, ditambahkan kanopi2 yang awal desainnya pasti tidak ada. Yaitu sebagai’peneduh’ jendela2. Karena jika jendela2 itu, yang sejajar dengan dindingnya tanpa ada kanopi, bisa dibayangkan jika hujan, air akan masuk atau merembes ke dalam lewat jendela2, serta jika angin berhembus keras, jendela akan sering terkuak, bahkan terhempas …..
Ubtuk foto dikanan atas, sama saja. Awlnya adalah bangunan Eropa dengan tampak depan khas Belanda, tetapi tampak sampingnya campuran Asia. Mempunyai teritisan walau hanya 20 cm, sebenranya sangat tidak cukup untuk hempasan angin dan deraan air hujan untuk pintu dan jendelanya.
Konsep2 itu membuat aku semakin menyadari sebuah pembauran dan asimilasi antar budaya. Walau jaman itu Belanda adalah yang mengusai Indonesia, tetapi toh pembauran dan asimilasi budaya tidak tergantung pada itu semua. Budaya Belanda berbaur dengan budaya local Indonesia, mencerminkan sebuah kehidupan sosialisasi antara umat manusia, yang berbeda jenis dan latar belakang, termasuk dengan arsitekturnya.