Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Normalisasi Sungai Jakarta VS Ruang Terbuka Hijau [RTH]

21 September 2015   14:34 Diperbarui: 22 September 2015   12:51 2992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sebelumnya :

“Love City” : Menuju Jakarta yang Dicintai dan Mau Melayani Warganya

Menjadi warga kota Jakarta itu tidak gampang. Apalagi menjadi pemimpi kota Jakarta dengan berjuta permasalahan yang menghadang hampir setiap saat.

Pemikiran2ku tentang Jakarta sudah dimulai sejak aku selalu mengikuti papaku sebagai pegawai pemda DKI Jakarta. Dan kecintaanku untuk Jakarta semakin membubung, justru ketika aku melihat ‘betapa malangnya Jakarta, sementara sebelum Pak Jokowi dan Pak Ahok, aku belum menemukan sosok untuk memimpin Jakarta kota kita tercinta ini.

Artikelku tentang “Love City”, adalah awal dari aku membukan tutup kran pemikiranku untuk Jakarta yang lebih baik. Artikel-artikelku ini akan menjadi sebuah kumpulan tentang bagaimana Jakarta mulai membangun diri sebagai kota yang dicintai dan mau melayani warganya...

Mulai dengan kegiatan Pak Ahok akan pembenahan bantaran sungai-sungai Jakarta serta pemindahan warga Jakarta yang tinggal di sana dan normalisasi sungai-sungai itu membuat aku terus berpikir apa yang bisa aku lakukan untuk kota kita. Akhirnya, aku memutuskan untuk sedikit menulis reportase kegiatan pembangunan Jakarta secara fisik, dalam pengalamanku sebagai arsitek dan urban planner.

***

Penanganan sungai-sungai Jakarta itu tidaklah ringan. Mungkin sebagian besar warga selalu marah-marah ketika pemda tidak kunjung membenahi sungai-sungai Jakarta supaya tidak banjir. Bukan hanya harus menggusur warga yang tinggal di bantaran sungai saja, atau pengerukan sungai yang tidak pernah dikeruk selama ini (dari referensi yang aku baca), atau tentang konsep dan desain dalam pengembangan sungai-sungai di Jakarta itu sebagai salah satu tempat ‘pembuangan’ limbah air hujan (termasuk danau lho) saja.

Tetapi kita harus juga memikirkan tentang penyerapannya. Tentang DAS (Daerah Aliran Sungai), tentang perawatannya, dan tentang bagaimana kita membangun hutan kota sebagai salah satu ‘syarat’ untuk Jakarta tidak banjir.

Seperti yang aku lihat di foto-foto tentang sungai-sungai Jakarta yang sudah sangat bagus dengan turap beton serta air hijau jernih, itu merupakan titik awal Jakarta ‘mungkin’ tidak banjir lagi...

Mengapa aku berkata Jakarta ‘MUNGKIN’ tidak banjir lagi? Tidak terlalu yakin untuk TIDAK banjir lagi? Ada beberapa alasannya:

Normalisasi sungai-sungai di Jakarta berhubungan dengan penyerapan
Ya. Sebagian sungai yang sudah dinormalisasi melalui pengerukan dan pemindahan warga yang mendiami bantaran sungai Jakarta. Berarti satu permasalahan sudah diatasi. Pengerukan sungai pasti membuat sungai itu lebih dalam sampai beberapa meter, serta luasan sungai menjadi lebih besar karena bantaran sungai menjadi turap beton. Artinya, kubiksasi jumlah air, baik dari air hujan yang curahnya semakin besar di awal tahun, atau air banjir kiriman dari Bogor, menjadi semakin banyak.

Tetapi itu belum cukup untuk membuat Jakarta tidak banjir. Curah hujan Indonesia yang memang kadang-kadang tidak bisa diprediksi, serta banjir kiriman dari Bogor pun harus dihitung secara cermat supaya kita yakin Jakarta tidak akan banjir lagi. Perhitungan curah hujan, banjir kiriman serta kubiksasi volume air yang bisa ditampung di sungai2 itu, haruslah cermat dan smart. Ada ahli-ahli yang akan menghitungnya...

Lalu, ketika jumlah air yang tertampung lewat air hujan dan banjir kiriman itu memang bisa dijadikan awal kenyataan bahwa Jakarta tidak banjir lagi, siapakah yang bisa menjamin apakah “tidak banjir lagi itu meliputi seluruh titik2 Jakarta, ataukah hanya sebagian saja titik yang rawan banjir itu tidak banjir lagi?”

Mengapa aku menulis demikian?

Jika air banjir kiriman dari Bogor pasti langsung menuju Jakarta lewat sungai2 yang ada, tidak dengan air hujan, yang bisa ditampung dalam sungai, danau, situ-situ, bahkan bak-bak penampungan air lokal, serta satu lagi, dataran sebagai penyerapan! Air hujan langsung menuju ke ‘sungai’ bawah tanah (kecuali bak-bak penampungan lokal, seperti bak rumah tangga). Perhitungannya harus cermat, karena aku tahu, pakar-pakar Jakarta tentu sudah memperhitungkan itu semua, TERMASUK DATARAN JAKARTA SEBAGAI PENYERAPAN.

Lihat tulisanku Menuju Jakarta 30% RTH [Dari yang Sekarang 11% Saja], Mungkinkah?

Perbandingan luas kota Jakarta dengan kebutuhan RTH (Ruang Terbuka Hijau), seharusnya adalah 30%. Tetapi dengan hanya 11% RTH saja untuk kota Jakarta, aku cukup yakin bahwa Jakarta belum bebas dari banjir. Ya, memang normalisasi sungai-sungai Jakarta itu sangat membantu banyak untuk Jakarta lebih baik dan di beberapa titik tidak banjir lagi. Tetapi tidak semua titik Jakarta, akan aman dari banjir.

JCPG : Jakarta City Planning Gallery (Dokumen pribadi)

Terlihat, sedikit sekali RTH (Ruang Terbuka Hijau) yang berwarna hijau, dibandingkan dengan keseluruhan luas Jakarta

Penyerapan Jakarta pun harus diperhitungkan dengan kemiringan. Artinya begini:

Bayangkan jika di kamar mandi kita kemiringan permukaan lantai bukan ke lubang pembuangan air, tetapi ke arah pintu kamar mandi? Berarti, air mandi akan membanjiri lantai di sekitar kamar mandi, karena lubang pintu 1 cm di setiap pintu.

Bayangkan juga jika kita membangun penyerapan di dataran Jakarta tetapi kemiringannya tidak menuju laut, bahkan justru kearah kebalikan dari laut? Artinya, air itu akan kembali menggenangi Jakarta!

Dari beberapa artikelku tentang kondisi fisik Jakarta, aku mengatakan tentang ‘Peta 3 Dimesi’. Dan yang aku tahu, belum ada Peta 3 Dimensi untuk Jakarta. Ditambah lagi, sering kali Jakarta melakukan ‘cut & fill’ untuk menggali dan menimbun dataran Jakarta. Terlebih oleh para developer untuk membangun bangunan-bangunan yang diinginkannya.

Lihat tulisanku Jakarta Butuh Peta Countur 3 Dimensi untuk Kebijakkan Banjir

desab17.blogspot.com

Proyek2 ‘cut & fill’ ini menjadikan salah satu penyebab banjir di titik-titik itu, karena mereka tidak bisa melihat peil (ketinggian tanah) tanah dikarenakan pemda belum memiliki landasan peraturan daerah yang orientasi penyusunannya berlandaskan pada teknik perencanaan kota berwawasan tiga demensi dengan memperhatikan peta kontur, sehingga bila peraturan daerah itu telah dimiliki maka tanpa ragu pemerintah bisa memberikan ijin atau menolaknya dengan tegas dan mantap.

Bayangkan seperti yang aku tuliskan di atas tentang kemiringan lantai kamar mandi.

Karena, walaupun sepertinya Jakarta tidak berbukit2 dan rata tanah, tetapi pada kenyataannya Jakarta pun berbukit2. Salah satu bukti bahwa Jakarta berbukit-bukit yaitu di sebuah titik (misal di Kampung Pulo). Tetangga Kampung Pulo, Tebet atau Matraman, tidak akan tergenang banjir karena countur-nya LEBIH TINGGI dari countur Kampung Pulo!

Ini hanya sedikit yang baru aku bisa tuliskan, berhubungan dengan gebrakan pak Ahok untuk terus menormalisasikan sungai2 di Jakarta (ada 13 sungai). Dan aku ingin bersama-sama pak Ahok menormalisasikan sungai2 tersebut ini, bisa sekalian membangun RTH-RTH menjadi 30%, sehingga aku sangat yakin, banjir Jakarta hanya tinggal kenangan saja.

Maju terus Pak Ahok, untuk menjadikan Jakarta sebagai tempat tinggal yang sejahtera untuk warganya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Talkshow @JCPG (Jakarta City Planning Gallery) - 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun