Seperti di daerah Bukit Duri, di sepanjang Sungai Ciliwung yang sering membuat warga kebanjiran, dari Bukit Duri Tanjakan belok kanan ke arah jalan Jatinegara Barat, dan dari pertigaan itu sampai batas pintu air Manggarai, semua warga di sana berjualan! Sebagian besar sebagai tukang kayu membuat kusen-kusen dan pintu. Sebagian lagi sebagai warung makanan dan bengkel motor serta pencucian manual kendaraan bermotor. Ckckck ..... Dan herannya lagi, rumah-rumah kardus mereka sudah lama disulap menjadi rumah tembok dan mendapat 'ijin' untuk berjualan dan bisa ada aliran listrik, telpon serta membayar 'pajak!' Bahkan aku pernah melihat, mereka bukan hanya mempunyai TV saja lewat antena-antenanya, tetapi ada yang mempunyai parabola.
Lain lagi di Manggarai, dari arah jalan Slamet Riyadi belok ke kiri ke arah Bukit Duri. Rumah-rumah kardus mereka (yang sebagian besar sudah disulap menjadi rumah tembok) sudah dieksekusi walau baru sebagian saja dan pemda sudah membuat tembok-tembok tinggi untuk supaya mereka tidak membangun rumah mereka lagi di sana.
Tetapi, apa yang terjadi?
Hanya beberapa minggu saja, dan pemda 'belum sempat' merealisasikan mimpinya untuk membangun DAS yang sesuai dengan aturan dan standarnya, warga yang dulunya tinggal di sana sudah membuat tangga-tangga untuk bis masuk ke balik tembok, dan aku sangat yakin bahwa mereka sudah membangun gubuk-gubuk mereka lagi di sepanjang bantaran sungai tersebut! Sehingga, tembok tinggi itu ternyata menjadi 'pelindung' mereka dari 'kejaran' pemda dalam eksekusi warga. Wah wah wah....
Normalisasi sebagian Sungai Ciliwung di derah Proklamasi, Menteng
DAS di semua sungai, termasuk sungai-sungai di Jakarta ini merupakan TANAH NEGARA, dan siapa pun yang menempati tanah negara tidak akan diijinkan sesuai dengan peraturannya. Tetapi justru tanah negara itu dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang tidak mempunyai tempat berlindung, berjualan di sana bahkan di Manggarai mereka becocok tanam di sana, di sela-sela gubuk mereka. Seperti tulisanku tentang Ada Apa dengan Waduk Pluit? dan 'Waduk Pluit' : Mengapa Baru Sekarang?,, sangat wajar jika pemda 'marah' kepada mereka yang menempati tanah negara karena tanah negara harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk semua warga, BUKAN untuk segelintir warga, apalagi bukan untuk hanya 1 orang warga saja!
Sebagai pemda, seharusnyalah mereka cepat dan tanggap dengan fenomena ini SEJAK DAHULU, BUKAN BARU SEKARANG! Dan pada kenyataannya, justru 'oknum-oknum' pemdalah yang mendapat 'pajak' dari mereka serta memberikan sarana dan fasilitas untuk listrik, air ataupun petak-petak khusus dengan membayar lewat 'oknum-oknum' tersebut! Yang aku tahu dan pernah aku survey serta sedikit riset, sarana dan fasilitas-fasilitas listrik dan telpon, mereka 'mengambil' dari tiang-tiang listrik dengan cabang-cabang kabel untuk rumah mereka, alhasil si pemilik kabel yang resmi (bisa saja) membayar lebih tinggi dari yang seharusnya karena 'benalu-benalu' ini..... Dan itu mudah sekali dengan cara yang spesifik.....
Ketika pemda mengeksekusi warga untuk pindah di tempat yang lebih layak, pastinya Pak Jokowi sudah memikirkan, ke mana mereka harus dipindah. Tetapi seperti banyak cerita, mereka lebih memilih tinggal di bantaran sungai dengan gubuk-gubuk reyot mereka, dibandingkan dengan rusunami yang sudah disiapkan bagi mereka, dengan alasan-alasan yang sering tidak bisa diterima oleh banyak orang.
Seperti yang aku katakan pada tulisan-tulisanku sebelumnya, seperti: