By Christie Damayanti
[caption id="attachment_281032" align="aligncenter" width="551" caption="beritadaerah.com"][/caption]
Ada apa di sepanjang bantaran sungai-sungai di Jakarta? Ada 13 sungai yang ada di Jakarta, dan tidak satu pun sungai-sungai itu yang 'bebas' dengan DAS-nya (Daerah Aliran Sungai) yang cantik dan apik, kecuali yang ada di jalan protokol. Ya, jika sungai itu melewati jalan protokol, DAS akan cantik dan apik, misalnya di HANYA di depan Hotel Shangrilla, tetapi selebihnya mulai ada titik-titik slum dengan PKL atau sampah. Juga di sepanjang jalan Juanda dari Harmonie depan Sekretariat Negara sampai cabang jalan Pos. Hanya sedikit, kita memandang sungai di Jakarta dengan nyaman dan selebihnya sungai-sungai Jakarta hanya sebagai 'pelengkap penderita', kambing hitam jika banjir dan tempat buang sambah warga Jakarta.
Sebelum Pak Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI, sepertinya tidak satu pun yang melakukan eksekusi untuk DAS sesuai dengan aturan dan keamanannya. Bahwa DAS itu sebenarnya untuk proteksi dan melindungi warga sekitar sungai. Dengan jarak-jarak tertentu sesuai dengan lebar sungai dan standar-standar tertentu, DAS merupakan batas keamanan jika sungai meluap, ataupun banjir agar jangan warga sekitar terkena luapan air sungai. Juga DAS berfungsi untuk penyerapan air. Di daerah DAS seharusnya ditanami pepohonan dan lantainya adalah tanah atau con-block.
[caption id="attachment_281033" align="aligncenter" width="422" caption="persibvanjava.blogspot.com"]
DAS yang ideal untuk sebuah sungai.
Semakin jauh bibir sungai dengan (rumah) warga, semakin amanlah warga. Artinya, sungai sudah menjadi sangat fungsional dan justru 'membantu' warga dalam kehidupan sehari-hari.
[caption id="attachment_281034" align="aligncenter" width="515" caption="firmanirmansyah.wordpress.com"]
Setelah sungai, ada daerah hijau untuk penyerapan dengan pepohonan, lalu bisa dibuat jalan inspeksi, baru dengan bangunan-bangunan dan kehidupan warganya.
[caption id="attachment_281035" align="aligncenter" width="508" caption="firmanirmansyah.wordpress.com"]
Bagaimana dengan DAS seperti foto di atas? Belum ideal! Bahkan di sisi sungai atau kali ini sama sekali tidak ada penyerapan! Jika air sungai meluap, air akan terus menyusuri jalan-jalan aspal atau beton, dan mencari tempat-tempat yang landai. Alhasil adalah banjir!
[caption id="attachment_281036" align="aligncenter" width="513" caption="konservasidasciliwung.wordpress.com"]
Ini konsep normalisasi sungai oleh pemda. Jika semuanya berjalan dengan baik, bukan hanya mata yang memandang menjadi segar saja, tetapi juga akan membuat warga lebih enak untuk Jakarta sebagai tempat tinggal mereka.
Tetapi apa mau dikata? Jakarta dengan penduduknya yang 'bejibun', legal atau illegal karena arus urbanisasi, membuat sama sekali tidak ada tanah kosong dan semaksimal mungkin untuk sekedar tempat tinggal, termasuk di kolong-kolong jembatan dan DAS. Dan DAS menjadi tempat tinggal mereka, dari sekedar rumah kardus, tetapi sekarang mereka menjadikan rumah kardus itu sebagai rumah tembok, bahkan berjualan di sana, membuka bengkel atau warung-warung makanan!
Seperti di daerah Bukit Duri, di sepanjang Sungai Ciliwung yang sering membuat warga kebanjiran, dari Bukit Duri Tanjakan belok kanan ke arah jalan Jatinegara Barat, dan dari pertigaan itu sampai batas pintu air Manggarai, semua warga di sana berjualan! Sebagian besar sebagai tukang kayu membuat kusen-kusen dan pintu. Sebagian lagi sebagai warung makanan dan bengkel motor serta pencucian manual kendaraan bermotor. Ckckck ..... Dan herannya lagi, rumah-rumah kardus mereka sudah lama disulap menjadi rumah tembok dan mendapat 'ijin' untuk berjualan dan bisa ada aliran listrik, telpon serta membayar 'pajak!' Bahkan aku pernah melihat, mereka bukan hanya mempunyai TV saja lewat antena-antenanya, tetapi ada yang mempunyai parabola.
Lain lagi di Manggarai, dari arah jalan Slamet Riyadi belok ke kiri ke arah Bukit Duri. Rumah-rumah kardus mereka (yang sebagian besar sudah disulap menjadi rumah tembok) sudah dieksekusi walau baru sebagian saja dan pemda sudah membuat tembok-tembok tinggi untuk supaya mereka tidak membangun rumah mereka lagi di sana.
Tetapi, apa yang terjadi?
Hanya beberapa minggu saja, dan pemda 'belum sempat' merealisasikan mimpinya untuk membangun DAS yang sesuai dengan aturan dan standarnya, warga yang dulunya tinggal di sana sudah membuat tangga-tangga untuk bis masuk ke balik tembok, dan aku sangat yakin bahwa mereka sudah membangun gubuk-gubuk mereka lagi di sepanjang bantaran sungai tersebut! Sehingga, tembok tinggi itu ternyata menjadi 'pelindung' mereka dari 'kejaran' pemda dalam eksekusi warga. Wah wah wah....
Normalisasi sebagian Sungai Ciliwung di derah Proklamasi, Menteng
DAS di semua sungai, termasuk sungai-sungai di Jakarta ini merupakan TANAH NEGARA, dan siapa pun yang menempati tanah negara tidak akan diijinkan sesuai dengan peraturannya. Tetapi justru tanah negara itu dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang tidak mempunyai tempat berlindung, berjualan di sana bahkan di Manggarai mereka becocok tanam di sana, di sela-sela gubuk mereka. Seperti tulisanku tentang Ada Apa dengan Waduk Pluit? dan 'Waduk Pluit' : Mengapa Baru Sekarang?,, sangat wajar jika pemda 'marah' kepada mereka yang menempati tanah negara karena tanah negara harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk semua warga, BUKAN untuk segelintir warga, apalagi bukan untuk hanya 1 orang warga saja!
Sebagai pemda, seharusnyalah mereka cepat dan tanggap dengan fenomena ini SEJAK DAHULU, BUKAN BARU SEKARANG! Dan pada kenyataannya, justru 'oknum-oknum' pemdalah yang mendapat 'pajak' dari mereka serta memberikan sarana dan fasilitas untuk listrik, air ataupun petak-petak khusus dengan membayar lewat 'oknum-oknum' tersebut! Yang aku tahu dan pernah aku survey serta sedikit riset, sarana dan fasilitas-fasilitas listrik dan telpon, mereka 'mengambil' dari tiang-tiang listrik dengan cabang-cabang kabel untuk rumah mereka, alhasil si pemilik kabel yang resmi (bisa saja) membayar lebih tinggi dari yang seharusnya karena 'benalu-benalu' ini..... Dan itu mudah sekali dengan cara yang spesifik.....
Ketika pemda mengeksekusi warga untuk pindah di tempat yang lebih layak, pastinya Pak Jokowi sudah memikirkan, ke mana mereka harus dipindah. Tetapi seperti banyak cerita, mereka lebih memilih tinggal di bantaran sungai dengan gubuk-gubuk reyot mereka, dibandingkan dengan rusunami yang sudah disiapkan bagi mereka, dengan alasan-alasan yang sering tidak bisa diterima oleh banyak orang.
Seperti yang aku katakan pada tulisan-tulisanku sebelumnya, seperti:
Pengendalian Banjir ? Tidak Cukup Hanya Membuat Drainage Saja ....., "Jangan Tanggung-Tanggung, Pak Jokowi" : Jalankan 4 Proyek Raksasa Penangkal Banjir + Beberapa 'Predator' Air! Atau 'Rusun Kampung Deret' : Konsep Menarik bagi Warga Jajarta, Tetapi .... Dan sebagainya (bisa dibaca di lapakku).
Bagaimana Jakarta bisa lebih baik, jika warganya tidak mau berpartisipasi untuk memgubah wajah Jakarta? Aku mengerti dengan pandangan-pandangan sosial seperti kepadatan penduduk yang sangat tinggi, pengangguran, urbanisasi, ketidakpedulian warga tentang banyak hal, sehingga Jakarta susah untuk memperbaiki diri dan pemerintah pun tidak mampu jika hanya sendiri.
Dan ketika DAS tidak mampu 'mengamankan' Jakarta dari banjir dan tidak mampu menyerap air yang meluber dari sungai, bagaimanakah wajah Jakarta 10 tahun lagi dengan air-air yang membanjiri terus menerus ketika hanya sekedar hujan sesaat?
Dan jika warga Jakarta ingin Sungai Ciliwung dinormalisasi (kompas.com - 22 Juli 2013), tolonglah untuk mereka mau dipindahkan untuk pemda melakukannya. Jangan hanya 'ingin', saja tetapi masing-masing harus berkorban dan bergotong royong, baik pemerintah juga warga kota, demi keberhasilkan 'Jakarta lebih baik' .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H