By Christie Damayanti
[caption id="attachment_173008" align="aligncenter" width="597" caption="theodorapradipta.bolgspot"][/caption]
Tulisanku tentang  Cerita 'Ethel,' Sahabatku Supir Taxi di Eropa ....... ternyata menuai beberapa tanggapan yang pro dan kontra. Ya, sangat bisa dimengerti bahwa kehidupan supir taxi di negara2 maju, khususnya dalam tulisanku tentang Ethel, dengan kehidupan supir taxi di Jakarta. Banyak sekali konflik di kehidupan mereka seperti yang dikatakan oleh beberapa komentator di tulisanku itu.
Aku tidak mau berdebat tentang itu, karena kenyataannya memang demikan. Tetapi aku hanya mau menceritakan sebuah cerita yang mirip dengan cerita Ethel, versi Jakarta .....
Cerita ini ada pada sekitar tahun 2005, 2 tahun sebelum bertemu dengan Ethel. Waktu itu, mobilku sedang di bengkel, jadi beberapa kali aku naik taxi, sebuah taxi yang direkomendasi untuk aku pakai, taxi berwarna biru. Setiap pagi, aku menelpon taxi itu untuk mengantar aku ke kantor dan setip sore atau malamnya, sering aku diantar oleh temanku dari kantor ke rumahku.
Suatu saat, sekitar jam 8 malam, taxiku belum datang, padahal aku sudah bolak balik menelpon kantornya. Aku sih mengerti, itu jam pulang kantor. Tetapi, sampai berapa lama? Dan temanku yang selalu mengantarku pulang, masih harus ke lapangan sampai malam.
Dengan berbekal nekad, aku ke luar kompleks proyekku dan mencari taxi sendiri. Itu sudah hampir am 9 malam. Aku masih 'berani' untuk menyetop taxi, tahun 2005. Jika sekarang, jujur aku sama sekali tidak mau melakukannya lagi, Â kecuali menelpon taxi biru, yang sudah mengenal nama dan data2ku. Dan sebuah taxi merah kuning berhenti di depanku .....
Seperti biasa, aku duduk di depan, di samping supir. Tidak ada rasa takut sama sekali, walau sudah lebih dari jam 9 malam. Aku hanya memperhatikan nama dan nomor pengemudinya untuk aku ingat, jika ada masalah. Maman, nama supir taxi itu. Pak Maman sepertinya sudah lebih dari 50 tahun, dengan kerut2 wajahnya serta uban di kepalanya. Rambutnya agak botek dan tubuhnya sedikit gemuk, Wajahnya terlihat ramah, tidak tahu persis karena gelap. Aku menoleh kepadanya, aku ingin mengobrol, secara aku memang cerewet sekali.
Pak Maman tersenyum dan aku bertanya basa basi,
"Lagi kosong pak Maman?"
"Iya bu. Tadi habis anter tamu dari Joglo ke Kemayoran."
Waktu itu aku berkantor di Kemayoran, di sebuah proyek apartemen besar. Aku tersenyum, dan setelah itu kami terlibat banyak cerita. Aku cerita tentang pekerjaanku dan dia cerita tentang pekerjaannya sebagai supir taxi. Kami sama2 saling mendukung. Pak Maman, ternyata sangat ceria, walau menurut cerita tentang kehidupannya 'susah' dengan 3 anak yang amsih harus sekolah .....
Ketika hampir sampai ke rumahku, aku menyiapkan uang untuk membayar taxi itu. Bukan hanya kembalian dari tagihan taxi itu saja, aku juga mengambil uang lebih untuk 'tips' pak Maman, lumayan besar karena kebetuan waktu itu aku barusan mengambil uang dari atm, dan aku ingin sedikit membantu untuk keluarganya
Bagitu benar2 kami sudah sampai, aku memberikan uang bayaran taxinya serta uang 'tips' nya sambil aku katakan,
"Itu sedikit untuk anak2, juga ambil saja kembaliannya. Terima kasih, ya pak Maman".
Dan begitu aku mengatakan itu, aku membuka pintu taxi untuk keluar.
Pak Maman bergegas membuka pintunya juga, dan membantu aku keluar, sambil mengembalian 'tips' untuknya ... aku heran, kenapa?
"Terima kasih, bu. Ibu sudah memberikan kembalian uang kembalian taxinya, kenapa ibu memberikan tip lagi?"
Aku heran, boleh kan aku memberikan tips? Jadi aku tetap ngotot memberi uang itu untuk pak Maman. Alhasil, kami masing2 ngotot sampai beberapa manit. Masing2 kamipun tersenyum dan tertawa.
"Pak Maman, itu aku sangat iklas untuk bapak, mungkin setelah ini bapak bisa membelikan makanan yang enak2 untuk ana2 bapak. Mereka suka Kentucky Friend Chichen kan? Beli saja sang untuk keluarga dan bapak juga bisa makan bersama ...."
Aku melihat kilatan air mata pak Maman. Serta merta dia berhenti mengembalikan uangku. Dan langsung, dia mengambil tanganku sambil berucap,
"Terima kasih, bu", dan setelah jtu, dia hanya menatapku sambil tersenyum dan pamit membungkuk, membuka pintu taxinya, dan masuk serta melambaikan tangannya ....
Dan aku pun termangu .....
Seorang supir taxi, memang bukan seorang Ethel yang bergaji besar, walau itu tetap digolongkan bergaji kecil di Eropa. Tetapi, pak Maman juga menjadi teladan, sebagai orang (bukan hanya supir taxi ) yang baik.
Mungkinkah ada pak Maman - pak Maman yang lain, sebagai supir taxi di Jakarta lagi? Aku percaya, pasti tetap ada orang baik di tengah2 orang yang terbukti selalu membuat kita takut .....
Semoga kesaksian ini membuka mata kita semua, untuk tetap saling berbuat baik dan mengasihi sesama  .....
Salamku .....